Rabu, 03 Juli 2013

[My FF] Oh My Darling, I Love You (Chapter 1)




Title: Oh, My Darling, I Love You (Chapter 1)
Author: Anita
Genre: Romance, School life, Tragedy
Length: Chapter
Main Cast:
Suzy (Miss A)
Kim Hyung Jun (SS501)
Kevin (U-Kiss)
Support Cast:
Min Hyun (NU’EST)

Attention! This is JUST FAN-FICTION. Please comment! And, happy reading~  You can follow my official Twitter: @Anita_Febriany and Language support: @KRL_Easy Thanks <3

******


Aku menghitung hari dengan jari, menunggu datangnya tanggal 10 oktober. Hari itu aku akan genap 18tahun. Tapi sekarang, sebelum hari itu tiba, aku sudah menikah dengan Hyung Jun alias Kim Hyung Jun yang berusia 25tahun. Hyung Jun adalah guru kimia di SMA khusus pria. Dia tinggi, rambutnya lurus, dan tampan. Dia yang selalu membangkitkan semangatku di kala aku sedang sedih, menegurku bila aku berbuat salah, dan memujiku bila aku berbuat benar.
Hari ini, hubungan kami dikukuhkan dalam gereja. Sayang, aku tidak bisa menceritakan hal ini pada oranglain. Dan yang mengesalkan, setelah pesta bubar, aku harus kembali ke rumah karena besok aku harus sekolah.
 Seandainya aku sudah lulus, aku tidak harus pulang ke rumah dan bersekolah. Tapi itu baru terwujud beberapa bulan kemudian.
Karena kesal, setelah upacara pernikahan selesai, aku mengurung diri di toilet gereja.
Tok! Tok! Tok!
Pintu toilet diketuk dengan keras.
“Suzy... Buka!” teriak halmeoni (nenek) histeris.
“Jangan manja! Ayo, keluar!”
“Sireo! (Tidak mau!) Nanti di suruh pulang!”
“Itu sudah resiko kamu... Lagipula masa liburan sekolahmu sudah habis...”
“Kalau begitu aku mau berhenti sekolah saja! Biar bisa terus di sisi Hyung Jun oppa!”
“Mworago?! (Apa katamu?!) Jangan bikin malu nenek yang jadi ketua yayasan sekolah kamu!”
Nenekku adalah ketua yayasan di sekolah Sungji, sekolahku. Di SMA Sungji ada peraturan ketat yang melarang murid-muridnya pacaran. Peraturan yang sangat menyebalkan!
Sebagai cucu satu-satunya, nenek sangat memanjakanku.  Tapi begitu berurusan dengan sekolah, nenek tidak pernah memberi kelonggaran. Padahal dulu dia pernah merasakan bahagianya menjadi pengantin baru.
Aku bisa menikah secepat ini karena kakek yang memaksaku. Saat liburan sekolah tiba, kakek tiba-tiba berkata ingin menjodohkanku.
“ Harabeoji (kakek) bercanda kan? Umurku baru 17tahun!”
“Umurmu sebentar lagi 18tahun... Sudah cukup untuk menikah.”
“Mwo? (Apa?)”
“Suzy, umur kakek tak lama lagi... Dokter sudah menvonis aku seperti itu...”
Ternyata kakek punya alasan sampai berkata seperti itu. Begitu mendengar alasan kakek, isi kepalaku menjadi kosong.
“Seandainya aku sudah tiada, kamu masih dapat hidup dengan tabungan kakek. Tapi... Kakek khawatir dengan masa depanmu. Karena itu, kakek berniat menjodohkan kamu dengan pria ini. Usianya memang jauh dari usiamu, tapi masa depanmu akan lebih terjamin bila menikah dengannya.”
Kakek menyodorkan selembar foto ke depanku.
Meski aku shock, aku mengangguk setuju. Tapi, saat hari perjodohan, aku malah kabur. Aku kabur mencari Hyung Jun.
“Oppa! (Kakak! (laki-laki) *penyebutan oleh adik perempuan) tolong aku... Aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak aku kenal itu. Tolonglah aku...”
Tapi setelah itu terwujud, nenek tidak memberikan dukungan. Dia tidak setuju aku menikah di usia muda. Menyedihkan! Air mataku bercucuran tiada henti. Setelah papa dan mama pergi ke LA, nenek adalah satu-satunya tempat aku berkeluh kesah. Tapi sekarang...
“Suzy, ayo keluar...” pinta Hyung Jun.
Air mataku yang bercucuran berhenti dalam sekejap. Dengan patuh, aku berjalan ke pintu dan keluar.
Tampak kakek yang tersenyum lega saat melihatku keluar dari toilet dan nenek terlihat tampak kesal.
“Oppa...” aku berlari ke pelukan Hyung Jun.
“Sudah, sudah” Hyung Jun membalas pelukanku.
“Hyung Jun!” nenek marah.
“Sudahlah, sejak dulu Suzy memang selalu bersama Hyung Jun...” bela kakek.
Sejak kecil karena kakek dan nenek sibuk dengan urusannya masing-masing, waktuku habis terlewatkan bersama Hyung Jun.
Mata kakek berbinar bangga.
“Suzy pintar memilih suami,” pujinya.
Aku mengganti gaun pengantinku dengan kaos biasa. Lalu Hyung Jun mengantarku pulang.
“Kita sudah sampai...”
Dia memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumahku.
“Suzy?”
“Menyedihkan! Aku seperti dibawa kepenjara.” Kataku sambil memeluk tas sekolahku.
“Oppa, kapan kita berbulan madu?” tanyaku tiba-tiba, Hyung Jun tampak kaget mendengar pertanyaanku.
“Suzy...”
Dengan tenang Hyung Jun lalu mengambil tas yang berisikan gaun pengantinku dan menyerahkannya padaku. “Nanti kita ketemu di akhir minggu.” katanya.
“Coba Oppa mengajar disekolahku.”
“Kalau kangen, datang saja ke tempatku.”
“Ne (Iya)” aku keluar dari mobil.
Hyung Jun melambaikan tangan tanda perpisahan.
“Annyeong! (Bye!) Jangan menangis ya...”
Hyung Jun lalu pergi.
“Jangan selingkuh ya...!” teriakku.

******

 Tiga menit lagi bel masuk sekolah berbunyi. Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju kelasku.
Langkahku berhenti karena melihat sosok pria yang sedang berusaha memanjat masuk dari gerbang sekolah. Lalu pria itu dengan santai langsung berjalan masuk. Dia segera menyapa setelah sadar aku melihatnya.
“Ah, Pagi...” dengan  tenang dia menyapaku. Pria itu adalah teman sekelasku. Namanya Kevin. Dia suka datang terlambat ke sekolah.
Sesampainya di depan pintu kelas, aku kaget dan berdiri mematung di depan pintu. Ibu guru Ahyeon tidak duduk di sana melainkan Hyung Jun.
Mata kukucek-kucek karena merasa tidak percaya.
“Cepat duduk.” perintah Hyung Jun.
“Mulai hari ini aku akan menggantikan Ibu Ahyeon yang sedang cuti melahirkan.” Lanjutnya, suara Hyung Jun terdengar acuh tak acuh.
Karena kaget dan tidak percaya, kepalaku jadi pusing. Lalu aku pingsan.

******

Oppa... panggilku dalam mimpi.
“Sudah sadar?”
Pertanyaan itu terdengar jelas waktu aku mulai sadar. Jantungku berdegup cepat, karena orang pertama yang kulihat adalah Hyung Jun.
“Sudah sadar?”
“Ini... di UKS?”
“Iya...” jawab Hyung Jun lembut.
“Kamu kenapa...”
“Nenek yang minta.”
Hyung Jun lalu bercerita.
“Setelah kamu kembali ke rumah, kakek menyuruh nenek memasukkan aku ke sini karena kebetulan ada tempat kosong dan sebagai ungkapan penyesalan karena kita tidak bisa berbulan madu.”
“Oppa, kamu tidak marah kan?”
“Sedikit...”
“Maafkan ya,”
“Iya...”
Hatiku jadi lega. Tapi, waktu aku melihat jari manis kiri Hyung Jun dadaku langsung sakit.
“Oppa, mana cincinnya?”
“Oh itu...”
“Cincin itu kan pertanda kamu sudah menikah. Kenapa tidak dipakai? Malu ya?”
“Sekolah ini melarang keras kan pria dan wanita yang berhubungan? Makanya aku lepas.”
Rupanya itu semua karena peraturan yang nenek buat. Hyung Jun takut kalau pernikahan kami ketauan dan membuat heboh seisi sekolah.
“Suzy jangan marah ya.”
“Iya. Oiya, setelah jam sekolah usai dan saat liburan, aku boleh main kan ke tempat Oppa?”
“Mullon (tentu saja)”

******

Meski sekarang Hyung Jun berada di sekolahku, tapi kita tidak bisa bersama. Hyung Jun juga selalu dikerumuni pada murid perempuan. Selain itu, Kevin selalu mengejek Hyung Jun dengan berbagai sumpah.
Hari-hari berlalu lambat. Aku bersabar menunggu datangnya hari minggu nanti dan bel pelajaran tanda selesai.
Waktu akhir pekan telah tiba. Dengan hati yang berbunga-bunga aku berkunjung ke tempat Hyung Jun. Aku menyiapkan teh hangat dan memasak makanan untuknya. Tetapi ada segerombolan anak yang tiba-tiba datang. Aku buru-buru di suruh Hyung Jun bersembunyi di dalam lemari pakaian sampai mereka pergi. Dari dalam lemari, aku mendengar obrolan mereka.
“Wah, tas bapak lucu.”
“Ini punya adikku, ketinggalan.”
“Bapak sudah punya yeojachingu (pacar)?”
“Belum, tapi...”
“Bapak dari tadi memperhatikan lemari pakaian bapak, memangnya ada apa?”
“Waktu itu ada tikus besar yang keluar dari sana.”
“Ti...Tikus...!!!” teriakku karena panik mendengar jawaban Hyung Jun, aku keluar dari dalam lemari.
“Suzy?”
Mereka semua terkejut saat melihatku.
“Kamu ngapain di sini?”
Aku mulai panik dan bingung mau jawab apa. Tapi Hyung Jun dengan tenang mengetuk pelan kepalaku dan tertawa.
“Suzy... Suzy... ternyata kamu ada di dalam situ. Kalau mau kasih kejutan boleh-boleh saja, tapi jangan begini.”
Hyung Jun pintar mencari alasan.
Saat malam tiba, barulah mereka semua pulang. Benar-benar malang nasibku. Aku menangis karena kesal.
“Suzy, maaf ya. Aku mohon pengertianmu,” bisik Hyung Jun.
Meski begitu, air mataku tidak bisa berhenti.
“Sekarang kamu pulang juga ya, sudah malam. besok main lagi...” saran Hyung Jun. “Tapi, kalau kamu ke sini dan bertemu kejadian seperti tadi, mending gak datang saja.”
“Oppa jahat! Kenapa ngomongnya begitu!” air mataku menderas. “Hari ini kan aku mau merayakan pesta pernikahan kita, dan juga ini kan hari pekan pertama setelah menikah... Oppa memang jahat!”
“Suzy, bukan begitu maksudku...” Hyung Jun membelai rambutku, tapi aku menepisnya.
“Nappeun! (brengsek!)” teriakku lalu pulang. Kesabaranku sudah habis. Aku bosan diperlakukan seperti ini.

******

Ini adalah pertengkaran kami sebagai suami-istri yang pertama.
Keesokan harinya, dengan malas aku berangkat ke sekolah. Aku tidak ingin melihat Hyung Jun bahkan bertemu dengannya.
Hyung Jun masuk ke dalam kelas, saat dia akan mengeluarkan buku dari tasnya kudengar suara berbisik anak-anak
“Coba kau lihat, di jari manis pak guru!”
“Bukankah itu kyeorhon banji (cincin kawin)?”
“Jeongmal? (Benarkah?)”
Aku mengangkat wajahku dan mencari jari manis Hyung Jun. Cincin kawin kami melekat di sana. Hyung Jun memakainya demi aku.
Seandainya tidak ada peraturan siswi tidak boleh menggunakan perhiasan, aku pasti sudah memakainya juga.
Waktu istirahat tiba, aku mengirim pesan singkat pada Hyung Jun dan pergi ke halaman belakang sekolah yang sepi.
“Nanti kalau ketauan aku istrimu bagaimana?”
“Kamu sudah gak marah?” tanyanya, dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Marah? Sedikit...”
“Sedikit?”
“Iya, sisanya baru kuberi kalau...” aku menunjuk bibir minta di cium.
“Suzy, kalau nanti ada yang melihat bagaimana?”
“Tidak akan, anak-anak gak bakal ke sini...”
Akhirnya Hyung Jun mencium bibirku. Saking senangnya, aku memeluk Hyung Jun.
“Kevin?”
Aku melihat Kevin sedang memperhatikan aku dengan Hyung Jun. Lalu aku segera melepaskan diri dari pelukan Hyung Jun.
Kevin telah memergoki kami.
“Loh kok di lepas? Apa aku mengganggu?” olok Kevin.
“Jangan berpikiran yang gak-gak ya!” aku berusaha menahan rasa panikku.
“Kalau begitu, kalian sedang apa tadi?”
“Kepo banget loe... Mau tau saja!”
Tiba-tiba Kevin berbalik badan lalu pergi.
“Katanya anak-anak gak bakalan ke sini...” kata Hyung Jun.
“Mianhaeyo (maaf)”
Tak lama hal ini pasti di ketahui sampai kepelosok sekolah, ini semua gara-gara kebodohanku!
Esok harinya, sewaktu jam pelajaran belum dimulai. Kevin dengan suara keras bertanya pada semua anak di dalam kelas “Eh, rasanya berpacaran dengan guru bagaimana?”
Aku cuma bisa menggigit bibir. Anak itu harus di balas!
Aku tidak sengaja memergoki Kevin berusaha kabur keluar dengan memanjat pagar besi pada saat jam istirahat. Akhirnya, waktu pembalasan tiba!
“Kamu mau apa? Ngapain di sini?” tanyanya setelah berhasil melewati pagar besi itu.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.
“Waktu itu, kamu terlambat dan manjat pagar ini.”
“Ne? (Ya?)”
“Waktu itu... saat pak guru Hyung Jun pertama kali mengajar.”
“Aku sudah lupa.” Jawabnya dengan tenang.
“Aku mau jalan-jalan nih! Mau ikut?” lanjutnya.
“Masih ada pelajaran habis ini...”
“Wae? (kenapa?) Habis ini kan jam kosong, ibu guru Seorin ikut rapat. Jadi gak masuk kelas juga gak apa-apa, kabur aja yuk?”
Deg! Juntungku berdegup kencang, selama ini aku belum pernah bolos. Selain itu, Hyung Jun pernah mengatakan bahwa bolos saat jam sekolah belum selesai itu perbuatan yang tidak baik.
“Bagaimana? Mau ikut tidak?” Kevin tersenyum mengejek.
Demi menjaga citra diriku, aku ikutan membolos. Kami berjalan-jalan di kota. Makan ice cream di McDonals, nonton bioskop, dan main di timezone. Aku mengikuti langkah Kevin sampai sore tiba.
“Kevin, sebentar lagi jam pulang sekolah...”
“Tenang saja, kita bisa menyelinap masuk ke dalam kelas...” katanya santai.
Aku menarik napas dalam-dalam. Jam 4 sore adalah jam pulang sekolah di sekolahku. Dengan malas aku mengikuti Kevin lagi.
“Kamu capek ya?” tanya Kevin.
“Iya!” Hatiku menjerit senang karena dia pasti menyuruh pulang, tapi... Kevin tidak menyarankan demikian.
“Enaknya istirahat dimana ya...?” gumamnya sambil menatap ke atas.
Aku jadi ikutan menatap ke atas. Terlihat lampu hotel berada tepat di atas kepala. Tiba-tiba aku takut Kevin akan mengajakku bermalam di hotel.
Dengan cepat aku berkata “A...aku gak capek kok.”
“Jeongmalyo? (yang benar?)” tanya Kevin dengan nada menantang.
“Kalian anak SMA mana?” dari belakang kami, terdengar suara seseorang menegur kami. Kami langsung menengok. Orang itu ternyata tidak sendiri, ada dua orang lainnya yang berjalan di belakangnya. Sepertinya dia preman di daerah sini.
“Kevin...” Dengan gemetaran, aku menarik lengan Kevin.
Kevin dengan tenang mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu membuangnya ke tanah.
Klinting!
Bunyi uang logam itu menyentuh tanah.
“Ah, cholsonghamnida (Oh, maaf)” kata Kevin sambil memungut uang logam itu.
Preman itu tetap menunggu kami sambil mengetuk-ngetuk kaki kirinya ke tanah. Aku ketakutan, lalu tiba-tiba Kevin menarik tanganku dan membawaku lari.
“Ya! Gidaryeo! (Eh! Tunggu!)” teriak preman sambil mengejar kami.
Kami berlari ke arah lapangan perkir sebuah mall, dan bersembunyi di balik mobil.
“Preman itu menyebalkan! Dia terus mengejar kita!” kata Kevin sambil menjulurkan kepala, memeriksa keadaan.
“Terus kita bagaimana?” tanyaku panik.
“Kita tunggu sampai dia tidak mengejar kita,”
Kevin lalu memanfaatkan keadaan untuk merayuku “Tenang saja, ini pasti akan menyenangkan,” katanya sambil memeluk bahuku dan mencoba mencium bibirku.
“Ya! Kevin Woo!” Aku menyikut perutnya dengan keras.                    
Kevin melepas bahuku, dia terlontar sampai menabrak pagar besi lapangan parkir.
“Aisssh! Kau ini!”
“Siapa di sana?” Keributan kami terdengar pak satpam mall. Akhirnya kami di tangkap oleh satpam, dan di bawa ke kantor polisi.
Aku menutup erat-erat mulutku sewaktu diintrogasi di kantor polisi. Pak polisi tidak mau kalah, dia menelpon ke sekolah melaporkan kejadian tadi. Seragam sekolah kami mudah dikenal. Guru yang datang menjemput adalah Hyung Jun.
Setelah itu, aku dihukum tidak boleh keluar rumah kecuali saat akan berangkat sekolah selama seminggu.
Pagi harinya, saat semua anak-anak pergi ke kantin, aku mengurung diri di dalam kelas sambil memikirkan Hyung Jun. Aku baru ke kantin saat bel pulang sekolah tiba.
“Suzy, kamu pacaran ya sama Kevin?”
Anak-anak langsung pada heboh melihat kedatanganku.
“Gak nyangka, cucu ketua yayasan sekolah bisa berbuat seperti itu. Kabur saat jam sekolah, dan tertangkap oleh polisi.”
“Suzy jangan menyerah! Aku mendukungmu, peraturan di sekolah ini memang harus di rubah...”
Gosip cepat sekali menyebar...
“Hubunganku dengan Kevin tidak seperti itu!” kataku.
Tapi anak-anak tidak percaya ucapanku.
“Sudah tenang saja Suzy...”
“Beritamu ini sudah tersebar luas, di papan pengumuman juga ada.”
Setelah mendengar kalimat itu, aku segera berlari ke papan pengumuman sekolah.
Kevin Woo dan Bae Suzy kalian mulai minggu depan diskors. Tidak boleh masuk sekolah selama seminggu karena telah kabur saat jam pelajaran sekolah dan berpacaran. Itu melanggar peraturan sekolah.
Tertanda
Kepala Sekolah
Pantas saja semua anak-anak mengira aku berpacaran dengan Kevin. Karena shock, aku memanjat pagar sekolah supaya bisa keluar dari sekolah dan mencari Hyung Jun.
Baru saja memanjat, tiba-tiba Kevin datang dan menahanku.
“Ya! Odiga? (mau kemana?)”
“Pergi sana! Aku mau menemui Oppa.”
“Pabo! (tolol!) kalau kamu ketauan, kamu tambah diskors...”
“Masa bodoh! aku ingin ketemu Oppa.”
Ekspresi wajah Kevin tiba-tiba berubah, “Aisssh! Dasar cewek centil! Oppa yang kamu sebut itu, pak guru Hyung Jun kan?”
Aku tidak memperdulikan kata-katanya.
“Suzy! Setelah pulang sekolah kamu kan bisa bertemu dengannya.”
“Tidak bisa... aku tidak di perbolehkan keluar rumah.”
Karena Kevin terus menahanku, akhirnya aku kesal dan berteriak padanya. “Aku tidak mau Oppa salah sangka! Kalau dia sampai membenciku, aku akan mati!” Kevin terkejut mendengar ucapanku.
“Hei! Sedang apa kalian di situ?” guru piket memergoki kami.
“Cepat injak bahuku!” Kevin tiba-tiba berjongkok dan membantuku memanjat pagar untuk keluar.
“Kevin...” aku merasa bahagia karena di tolong.
“Cepat lari!”
“Gomawo! (thanks!)” aku cepat-cepat berlari ke sekolah tempat Hyung Jun mengajar.
Aku berdiri mematung di depan gerbang SMA khusus pria. Tanganku tidak berani membukanya. Tiba-tiba langit mendung, lalu turun hujan. Di bawah rintik hujan, aku berjalan tanpa arah. Sampai akhirnya mataku melihat atap gereja.
Di sini, aku dan Hyung Jun mengucapkan janji sehidup semati. Dengan gontai aku masuk ke dalam gereja yang kosong, lalu mengenang kembali masa-masa indah itu. Cincin kawin kugenggam erat, lalu berdoa “Tuhan, aku sudah berjanji sehidup samati dengan Hyung Jun Oppa... Nan daedanhi saranghaeyo (aku sangat mencintainya). Semoga dia tidak membenciku dengan kejadian ini.”
Apa yang ingin kukatakan pada Hyung Jun keluar dengan lancar.
“Sekarang bukan saatnya untuk mengatakan hal itu...” tiba-tiba terdengar suara menegurku.
Badanku segera berbalik ke belakang, Hyung Jun ada di sana sambil tersenyum lebar.
“Kim Hyung Jun selalu percaya pada Bae Suzy,” katanya lembut. “Suzy, aku tau kamu pasti ke sini.”
“Oppa...” sambil menangis, aku berlari ke pelukan Hyung Jun.
“Dasar bandel! Lihat, sampai basah begini...”
“Habisnya...”
Hyung Jun sangat istimewa, dia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Di sekolah, tidak ada seorangpun yang sadar kalau aku kabur kecuali Kevin.
Akhirnya aku dapat menjalani masa hukumanku dengan tenang.

******

“Aku kagum sama Suzy,” Kevin selalu berkata begitu padaku. Kepalaku sampai sakit mendengar ucapannya.
Akhirnya masa skorsku berakhir, aku jadi bisa bermain tiap pulang sekolah usai. Hanya saja, ada yang mengganjal. Kevin jadi suka mengikutiku.
“Ya! Bae Suzy! Kamu lama sekali. Sudah selesai belum piketnya?” Kevin berlari mendekat dan menepuk pundakku.
“Selesai kamu piket, kita main yuk?”
“Kamu mau di hukum? Jangan dekat-dekat! Pergi sana!”
Lalu Minhyun lewat. Kevin dengan lantang memanggilnya, tapi dia dicuekin.
“Kasihan dicuekin...” ejekku.
“Kupingnya rada budek! Coba kalau manggilnya dari sebelah kiri...”
Aku baru sadar, kalau selama ini setiap aku berbicara dengan Minhyun selalu dari kiri. Perlahan-lahan aku jadi menyukai Minhyun. Aku ingin menjadi teman baiknya, makan dan pulang sekolah sama-sama.
Keesokan hari, waktu jam pulang...
“Minhyun, pulang bareng yuk?”
“Duluan saja, hari ini aku piket.”
“Yasudah, aku duluan.”
Baru saja melangkah keluar kelas, tiba-tiba anak ekskul Taekwondo datang mendekat.
“Di aula ada pertarungan Taekwondo antara Kevin dengan pak guru Hyung Jun!”
“Bajingan! Ngapain sih Kevin begitu?!” mukaku langsung pucat pasi. Aku mempercepat langkah. Anak-anak berlarian ke aula.
“Kevin, sudah hentikan! Kamu pasti kalah...!” seruku begitu sampai.
“Sok tau! Kami kan baru mulai.”
Hyung Jun tersenyum pahit melihat kedatanganku. Karena merasa berdosa, aku menarik Kevin keluar arena dan membawanya ke tempat kran air. Luka di sudut bibirnya aku lap dengan saputangan.
“Ah, appayo (sakit)”
“Makanya jangan sok!”
Aku menutup lukanya dengan plester.
“Aku cuma nyoba tau!”
“Dasar sok!”
“Semua ini demi kamu...”
Hatiku menciut mendengar ucapannya.
“Pokoknya ini harus diakhiri.”
Kevin menaruh tangannya dibahuku dan berbisik, “Saranghae (aku mencintaimu)” wajahnya semakin dekat, lalu...
“Jangan macam-macam ya!” aku menghindar.
“Pelit banget... Lagian wajar kan, kalau cowok berantem demi cewek!”
“Oh ya? Playboy sepertimu yang menganggap biasa hal seperti itu.”
Aku bergegas meninggalkan Kevin, tetapi dia menahanku.
“Menurutmu, pak guru Hyung Jun tidak seperti itu?”
Jantungku terhenti untuk sesaat. Kevin memang kurang ajar! Dia lalu menjadi-jadi melihatku tidak dapat menjawab.
“Jangan-jangan dia itu calon pendeta.“
“Jaga mulutmu!” kesabaranku habis.
“Dia belum pernah bilang suka kan padamu?”
“Berisik! Lebih baik aku pulang.”
Aku segera berlari menjauh. Tapi ucapan Kevin membekas diingatanku.
Hari minggu pun tiba, aku bermain ke rumah Hyung Jun. Entah kenapa, aku ingin mengetahui perasaannya saat berkelahi dulu.
“Oppa, waktu itu kenapa kamu menerima tantangan Kevin?”
Hyung Jun tidak menjawab pertanyaanku, dia tetap fokus dengan pekerjaannya.
“Oppa, aku tidak suka bergaul dengan Kevin. Dia itu anak yang kurang ajar.”
“Wae?”
“Tolong aku, Oppa...”
“Hah...” Hyung Jun menghela napas.
“Kamu tidak mengkhawatirkan aku?”
“Suzy, lebih baik anak seperti itu dijauhi.”
“Araseo (aku tau)”
Hyung Jun sekarang berbeda dengan yang kukenal sebelumnya. Tapi aku senang, hari ini aku bisa bersama Hyung Jun sampai malam. Tapi... dia malah sibuk dengan pekerjaannya karena begitu banyak tugas-tugas sekolah.
“Oppa, masih banyak ya?”
“Iya, aku harus cari bahan pelajaran yang tepat.”
“Tapi sekarang sudah jam 12 malam...”
“Iya, kalau begitu kamu tidur duluan saja.”
“Tidak mau, aku mau menunggu Oppa.”
“Tapi ini masih banyak, lebih baik kamu tidur.”
“Menyebalkan!” mukaku langsung cemberut, Hyung Jun sadar dengan perubahan ini.
“Suzy?”
Aku bergejolak senang. Rupanya dia mengerti perasaanku. Dengan mata berbinar-binar, aku menatapnya.
“Tolong ambilkan buku yang ada di atas rak ya.”
Aku menurut patuh, “Yang mana?”
“Yang sampul bukunya warna merah.”
Buku itu berada ditumpukan buku yang paling bawah. Aku berusaha menarik keluar tetapi tidak bisa karena buku di atasnya sangat berat. Waktu aku berhasil menarik keluar, buku yang ada di atasnya bertebaran jatuh.
“Suzy!!!” Hyung Jun bergegas berdiri dan menolongku. Tetapi terlambat, buku-buku itu menimpa kepalaku.
“Gwaenchana? (kamu tidak apa-apa?)”
“Kepalaku...”
“Mana yang sakit?”
Aku membuka mata pelan-pelan, Hyung Jun ternyata ada di atas tubuhku. Dia menatapku. Jantungku berdegup kencang.
Aku menutup mataku kembali, tapi Hyung Jun langsung melepaskan dirinya.
“Oppa?”
“Nanti aku yang akan membereskan bukunya.”
Sikap Hyung Jun sangat dingin. Padahal setiap pria dalam posisi itu pasti akan terangsang, tapi Hyung Jun tidak.
“Oppa...”
“Ne?”
“Gak jadi, aku tidur dulu ya.”
Aku berjalan kekamar tidur lalu memandang diri sendiri yang memantul di kaca jendela dan merenung.
Keesokan hari, seperti biasa, aku bertemu Kevin. Entah kenapa, aku tiba-tiba menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
“Kevin, kalau cowok sama cewek berduaan di malam hari biasanya ngapain?”
“Kalau itu... tergantung suasana. Waeyo? (kenapa?)”
“Kalau cewek itu tidak disukai, cowoknya bagaimana?”
“Tergantung moodnya lah!”
“Kalau begitu... buat cowok, cewek ideal itu seperti apa?”
“Ya! Wae? Wae? Wae?”
“Ani (tidak), aku punya teman yang ada masalah dengan cowoknya...”
“Geurae (baiklah), kalau aku paling malas ladenin cewek murahan dan yang gak menarik.”
Jantungku berdegup kencang mendengar jawaban Kevin. Dengan sekuat tenaga aku berusaha tenang.
“Hei, Hyung Jun tunggu!” tiba-tiba terdengar suara teriakan guru piket memanggil Hyung Jun.
Aku segera sadar kalau Hyung Jun ada di dekat sini, dan dia juga sadar dengan kehadiranku.
“Cepat pulang!” ujarnya dingin.
“Gila, itu guru dingin bener...” Kevin terlihat kaget. “Sedikit pun tidak basa-basi.”
Lima hari setelah kejadian itu, hari sabtu tiba. Aku menerima surat dari Hyung Jun di dalam rak sepatu. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku ingin membuka surat  itu dan membacanya. Hyung Jun pasti ingin mengajakku malam mingguan! Aku bergegas keruangan praktek kimia menemui Hyung Jun.
Pintu kubuka dengan keras dan meloncat-loncat masuk ke dalam.
“Oppa, kenapa tidak SMS saja... ini surat apa? Memangnya malam ini kita mau ke mana? Nonton?”
“Suzy...” wajah Hyung Jun terlihat panik.
“Mianhae, malam ini kita tidak bisa jalan. Aku ada urusan...”
“Mwo?”
“Aku di undang makan malam oleh ketua yayasan sekolah...”
“Itu kan nenek. Berarti aku boleh ikut?”
“Dia sudah berpesan untuk tidak mengajakmu. Mian, Suzy...”
“Oppa jangan pergi...” ucapku sambil memeluk pinggangnya.
“Suzy, lepaskan! Kamu ini bukan anak kecil lagi!” Hyung Jun marah.
Aku segera melepaskan diri.
“Aku memang bukan anak kecil! Kalau mau pergi, pergi aja sana!” teriakku lalu lari keluar.
Sesampainya di rumah, aku bertemu Minhyun yang sedang berjalan pulang sendirian.
“Baru pulang?”
“Iya, habisnya tadi aku baru saja piket. Rumahmu di sini?”
“Iya...”
“Oh, yasudah ya, aku pulang dulu. Annyeong!”
“Ne, Annyeong!”
Di rumah tidak ada siapa-siapa. Saking bosannya sendirian di rumah, aku memutuskan pergi ke tempat Hyung Jun.
Kamarnya gelap, dan di sudut ruangan ada kotak kue yang di ikat pita warna pink. Karena penasaran, aku membaca kartu ucapan yang ada di sebelah kotak kue itu.
Kartu ini ternyata untukku. Hyung Jun menulis kartu ucapan selamat ulangtahun.
Chagiya...
Aku yang sekarang ini hanya milikmu. Seandainya kamu gak ada, aku mungkin juga gak ada.
Selamat ulang tahun yang ke-18, meski aku telat seminggu mengucapkannya.
Oppa
Hari ini sudah tanggal 17 oktober. Hyung Jun rupanya ingin memberiku kejutan. Dengan tangan gemetar, aku membuka pita dan kotak kue. Lilin kunyalakan di tengahnya. Dengan tenang aku menunggu kepulangan Hyung Jun.
Aku berdiri bermaksud ke dapur untuk membuat teh menyambut kepulangan Hyung Jun. Tapi baru saja berdiri, tiba-tiba cincinku jatuh.
Suasana hatiku menjadi tidak tenang. Jangan-jangan akan terjadi sesuatu yang buruk? Di tengah-tengah ketegangan, telepon berbunyi.
Aku mengangkat gagang telepon.
“Yoboseyo? (halo?) di sini Bae Suzy...”
“Suzy?”
“Kakek?”
“Hyung Jun mana?”
“Hyung Jun sedang pergi makan malam dengan nenek.”
“Mworago? Aku telat!”
“Telat?”
“Sudah lupakan, sudah dulu ya.”
“Tunggu dulu, ada apa sebenarnya kek?”
Suara kakek terdengar ragu untuk menjelaskan.
“Haraboji...” hatiku bertanya-tanya apa maksud pertemuan Hyung Jun dengan nenek.
“Kek, hari ini untuk apa Hyung Jun bertemu nenek?”
“Dia... dia mau kembalikan surat nikah kalian. Kakek menelpon Hyung Jun supaya dia tidak menemui nenek.”

To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar