Title: Oh, My Darling, I Love You (Chapter 1)
Author: Anita
Genre: Romance, School life, Tragedy
Length: Chapter
Main Cast:
Suzy (Miss A)
Kim Hyung Jun (SS501)
Kevin (U-Kiss)
Support Cast:
Min Hyun (NU’EST)
Attention! This is JUST FAN-FICTION. Please comment!
And, happy reading~ You can follow my official
Twitter: @Anita_Febriany and Language support: @KRL_Easy Thanks <3
******
Aku menghitung hari dengan jari, menunggu datangnya tanggal 10 oktober.
Hari itu aku akan genap 18tahun. Tapi sekarang, sebelum hari itu tiba, aku
sudah menikah dengan Hyung Jun alias Kim Hyung Jun yang berusia 25tahun. Hyung
Jun adalah guru kimia di SMA khusus pria. Dia tinggi, rambutnya lurus, dan
tampan. Dia yang selalu membangkitkan semangatku di kala aku sedang sedih, menegurku
bila aku berbuat salah, dan memujiku bila aku berbuat benar.
Hari ini, hubungan kami dikukuhkan dalam gereja. Sayang, aku tidak bisa
menceritakan hal ini pada oranglain. Dan yang mengesalkan, setelah pesta bubar,
aku harus kembali ke rumah karena besok aku harus sekolah.
Seandainya aku sudah lulus, aku
tidak harus pulang ke rumah dan bersekolah. Tapi itu baru terwujud beberapa
bulan kemudian.
Karena kesal, setelah upacara pernikahan selesai, aku mengurung diri di
toilet gereja.
Tok! Tok! Tok!
Pintu toilet diketuk dengan keras.
“Suzy... Buka!” teriak halmeoni (nenek)
histeris.
“Jangan manja! Ayo, keluar!”
“Sireo! (Tidak mau!) Nanti di
suruh pulang!”
“Itu sudah resiko kamu... Lagipula masa liburan sekolahmu sudah habis...”
“Kalau begitu aku mau berhenti sekolah saja! Biar bisa terus di sisi Hyung
Jun oppa!”
“Mworago?! (Apa katamu?!) Jangan
bikin malu nenek yang jadi ketua yayasan sekolah kamu!”
Nenekku adalah ketua yayasan di sekolah Sungji, sekolahku. Di SMA
Sungji ada peraturan ketat yang melarang murid-muridnya pacaran. Peraturan yang
sangat menyebalkan!
Sebagai cucu satu-satunya, nenek sangat memanjakanku. Tapi begitu berurusan dengan sekolah, nenek
tidak pernah memberi kelonggaran. Padahal dulu dia pernah merasakan bahagianya
menjadi pengantin baru.
Aku bisa menikah secepat ini karena kakek yang memaksaku. Saat liburan
sekolah tiba, kakek tiba-tiba berkata ingin menjodohkanku.
“ Harabeoji (kakek) bercanda kan?
Umurku baru 17tahun!”
“Umurmu sebentar lagi 18tahun... Sudah cukup untuk menikah.”
“Mwo? (Apa?)”
“Suzy, umur kakek tak lama lagi... Dokter sudah menvonis aku seperti
itu...”
Ternyata kakek punya alasan sampai berkata seperti itu. Begitu mendengar
alasan kakek, isi kepalaku menjadi kosong.
“Seandainya aku sudah tiada, kamu masih dapat hidup dengan tabungan kakek.
Tapi... Kakek khawatir dengan masa depanmu. Karena itu, kakek berniat
menjodohkan kamu dengan pria ini. Usianya memang jauh dari usiamu, tapi masa
depanmu akan lebih terjamin bila menikah dengannya.”
Kakek menyodorkan selembar foto ke depanku.
Meski aku shock, aku mengangguk setuju. Tapi, saat hari perjodohan, aku
malah kabur. Aku kabur mencari Hyung Jun.
“Oppa! (Kakak! (laki-laki) *penyebutan oleh adik perempuan) tolong aku... Aku
tidak mau menikah dengan pria yang tidak aku kenal itu. Tolonglah aku...”
Tapi setelah itu terwujud, nenek tidak memberikan dukungan. Dia tidak
setuju aku menikah di usia muda. Menyedihkan! Air mataku bercucuran tiada
henti. Setelah papa dan mama pergi ke LA, nenek adalah satu-satunya tempat aku
berkeluh kesah. Tapi sekarang...
“Suzy, ayo keluar...” pinta Hyung Jun.
Air mataku yang bercucuran berhenti dalam sekejap. Dengan patuh, aku
berjalan ke pintu dan keluar.
Tampak kakek yang tersenyum lega saat melihatku keluar dari toilet dan
nenek terlihat tampak kesal.
“Oppa...” aku berlari ke pelukan Hyung Jun.
“Sudah, sudah” Hyung Jun membalas pelukanku.
“Hyung Jun!” nenek marah.
“Sudahlah, sejak dulu Suzy memang selalu bersama Hyung Jun...” bela kakek.
Sejak kecil karena kakek dan nenek sibuk dengan urusannya masing-masing,
waktuku habis terlewatkan bersama Hyung Jun.
Mata kakek berbinar bangga.
“Suzy pintar memilih suami,” pujinya.
Aku mengganti gaun pengantinku dengan kaos biasa. Lalu Hyung Jun
mengantarku pulang.
“Kita sudah sampai...”
Dia memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumahku.
“Suzy?”
“Menyedihkan! Aku seperti dibawa kepenjara.” Kataku sambil memeluk tas
sekolahku.
“Oppa, kapan kita berbulan madu?” tanyaku tiba-tiba, Hyung Jun tampak kaget
mendengar pertanyaanku.
“Suzy...”
Dengan tenang Hyung Jun lalu mengambil tas yang berisikan gaun pengantinku
dan menyerahkannya padaku. “Nanti kita ketemu di akhir minggu.” katanya.
“Coba Oppa mengajar disekolahku.”
“Kalau kangen, datang saja ke tempatku.”
“Ne (Iya)” aku keluar dari mobil.
Hyung Jun melambaikan tangan tanda perpisahan.
“Annyeong! (Bye!) Jangan menangis
ya...”
Hyung Jun lalu pergi.
“Jangan selingkuh ya...!” teriakku.
******
Tiga menit lagi bel masuk sekolah
berbunyi. Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju kelasku.
Langkahku berhenti karena melihat sosok pria yang sedang berusaha memanjat
masuk dari gerbang sekolah. Lalu pria itu dengan santai langsung berjalan
masuk. Dia segera menyapa setelah sadar aku melihatnya.
“Ah, Pagi...” dengan tenang dia
menyapaku. Pria itu adalah teman sekelasku. Namanya Kevin. Dia suka datang
terlambat ke sekolah.
Sesampainya di depan pintu kelas, aku kaget dan berdiri mematung di depan
pintu. Ibu guru Ahyeon tidak duduk di sana melainkan Hyung Jun.
Mata kukucek-kucek karena merasa tidak percaya.
“Cepat duduk.” perintah Hyung Jun.
“Mulai hari ini aku akan menggantikan Ibu Ahyeon yang sedang cuti
melahirkan.” Lanjutnya, suara Hyung Jun terdengar acuh tak acuh.
Karena kaget dan tidak percaya, kepalaku jadi pusing. Lalu aku pingsan.
******
Oppa... panggilku dalam mimpi.
“Sudah sadar?”
Pertanyaan itu terdengar jelas waktu aku mulai sadar. Jantungku berdegup
cepat, karena orang pertama yang kulihat adalah Hyung Jun.
“Sudah sadar?”
“Ini... di UKS?”
“Iya...” jawab Hyung Jun lembut.
“Kamu kenapa...”
“Nenek yang minta.”
Hyung Jun lalu bercerita.
“Setelah kamu kembali ke rumah, kakek menyuruh nenek memasukkan aku ke sini
karena kebetulan ada tempat kosong dan sebagai ungkapan penyesalan karena kita
tidak bisa berbulan madu.”
“Oppa, kamu tidak marah kan?”
“Sedikit...”
“Maafkan ya,”
“Iya...”
Hatiku jadi lega. Tapi, waktu aku melihat jari manis kiri Hyung Jun dadaku
langsung sakit.
“Oppa, mana cincinnya?”
“Oh itu...”
“Cincin itu kan pertanda kamu sudah menikah. Kenapa tidak dipakai? Malu
ya?”
“Sekolah ini melarang keras kan pria dan wanita yang berhubungan? Makanya
aku lepas.”
Rupanya itu semua karena peraturan yang nenek buat. Hyung Jun takut kalau
pernikahan kami ketauan dan membuat heboh seisi sekolah.
“Suzy jangan marah ya.”
“Iya. Oiya, setelah jam sekolah usai dan saat liburan, aku boleh main kan
ke tempat Oppa?”
“Mullon (tentu saja)”
******
Meski sekarang Hyung Jun berada di sekolahku, tapi kita tidak bisa bersama.
Hyung Jun juga selalu dikerumuni pada murid perempuan. Selain itu, Kevin selalu
mengejek Hyung Jun dengan berbagai sumpah.
Hari-hari berlalu lambat. Aku bersabar menunggu datangnya hari minggu nanti
dan bel pelajaran tanda selesai.
Waktu akhir pekan telah tiba. Dengan hati yang berbunga-bunga aku
berkunjung ke tempat Hyung Jun. Aku menyiapkan teh hangat dan memasak makanan
untuknya. Tetapi ada segerombolan anak yang tiba-tiba datang. Aku buru-buru di
suruh Hyung Jun bersembunyi di dalam lemari pakaian sampai mereka pergi. Dari
dalam lemari, aku mendengar obrolan mereka.
“Wah, tas bapak lucu.”
“Ini punya adikku, ketinggalan.”
“Bapak sudah punya yeojachingu (pacar)?”
“Belum, tapi...”
“Bapak dari tadi memperhatikan lemari pakaian bapak, memangnya ada apa?”
“Waktu itu ada tikus besar yang keluar dari sana.”
“Ti...Tikus...!!!” teriakku karena panik mendengar jawaban Hyung Jun, aku
keluar dari dalam lemari.
“Suzy?”
Mereka semua terkejut
saat melihatku.
“Kamu ngapain di
sini?”
Aku mulai panik dan
bingung mau jawab apa. Tapi Hyung Jun dengan tenang mengetuk pelan kepalaku dan
tertawa.
“Suzy... Suzy...
ternyata kamu ada di dalam situ. Kalau mau kasih kejutan boleh-boleh saja, tapi
jangan begini.”
Hyung Jun pintar
mencari alasan.
Saat malam tiba,
barulah mereka semua pulang. Benar-benar malang nasibku. Aku menangis karena
kesal.
“Suzy, maaf ya. Aku
mohon pengertianmu,” bisik Hyung Jun.
Meski begitu, air
mataku tidak bisa berhenti.
“Sekarang kamu pulang
juga ya, sudah malam. besok main lagi...” saran Hyung Jun. “Tapi, kalau kamu ke
sini dan bertemu kejadian seperti tadi, mending gak datang saja.”
“Oppa jahat! Kenapa
ngomongnya begitu!” air mataku menderas. “Hari ini kan aku mau merayakan pesta
pernikahan kita, dan juga ini kan hari pekan pertama setelah menikah... Oppa
memang jahat!”
“Suzy, bukan begitu
maksudku...” Hyung Jun membelai rambutku, tapi aku menepisnya.
“Nappeun! (brengsek!)” teriakku lalu pulang.
Kesabaranku sudah habis. Aku bosan diperlakukan seperti ini.
******
Ini adalah
pertengkaran kami sebagai suami-istri yang pertama.
Keesokan harinya,
dengan malas aku berangkat ke sekolah. Aku tidak ingin melihat Hyung Jun bahkan
bertemu dengannya.
Hyung Jun masuk ke
dalam kelas, saat dia akan mengeluarkan buku dari tasnya kudengar suara
berbisik anak-anak
“Coba kau lihat, di
jari manis pak guru!”
“Bukankah itu kyeorhon
banji (cincin kawin)?”
“Jeongmal? (Benarkah?)”
Aku mengangkat wajahku
dan mencari jari manis Hyung Jun. Cincin kawin kami melekat di sana. Hyung Jun
memakainya demi aku.
Seandainya tidak ada
peraturan siswi tidak boleh menggunakan perhiasan, aku pasti sudah memakainya
juga.
Waktu istirahat tiba,
aku mengirim pesan singkat pada Hyung Jun dan pergi ke halaman belakang sekolah
yang sepi.
“Nanti kalau ketauan
aku istrimu bagaimana?”
“Kamu sudah gak
marah?” tanyanya, dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Marah? Sedikit...”
“Sedikit?”
“Iya, sisanya baru
kuberi kalau...” aku menunjuk bibir minta di cium.
“Suzy, kalau nanti ada
yang melihat bagaimana?”
“Tidak akan, anak-anak
gak bakal ke sini...”
Akhirnya Hyung Jun
mencium bibirku. Saking senangnya, aku memeluk Hyung Jun.
“Kevin?”
Aku melihat Kevin sedang
memperhatikan aku dengan Hyung Jun. Lalu aku segera melepaskan diri dari
pelukan Hyung Jun.
Kevin telah memergoki
kami.
“Loh kok di lepas? Apa
aku mengganggu?” olok Kevin.
“Jangan berpikiran
yang gak-gak ya!” aku berusaha menahan rasa panikku.
“Kalau begitu, kalian
sedang apa tadi?”
“Kepo banget loe... Mau
tau saja!”
Tiba-tiba Kevin
berbalik badan lalu pergi.
“Katanya anak-anak gak
bakalan ke sini...” kata Hyung Jun.
“Mianhaeyo (maaf)”
Tak lama hal ini pasti
di ketahui sampai kepelosok sekolah, ini semua gara-gara kebodohanku!
Esok harinya, sewaktu
jam pelajaran belum dimulai. Kevin dengan suara keras bertanya pada semua anak
di dalam kelas “Eh, rasanya berpacaran dengan guru bagaimana?”
Aku cuma bisa
menggigit bibir. Anak itu harus di balas!
Aku tidak sengaja
memergoki Kevin berusaha kabur keluar dengan memanjat pagar besi pada saat jam
istirahat. Akhirnya, waktu pembalasan tiba!
“Kamu mau apa? Ngapain
di sini?” tanyanya setelah berhasil melewati pagar besi itu.
Aku menarik napas
dalam-dalam dan mulai berbicara.
“Waktu itu, kamu
terlambat dan manjat pagar ini.”
“Ne? (Ya?)”
“Waktu itu... saat pak
guru Hyung Jun pertama kali mengajar.”
“Aku sudah lupa.”
Jawabnya dengan tenang.
“Aku mau jalan-jalan
nih! Mau ikut?” lanjutnya.
“Masih ada pelajaran
habis ini...”
“Wae? (kenapa?) Habis ini kan jam kosong, ibu
guru Seorin ikut rapat. Jadi gak masuk kelas juga gak apa-apa, kabur aja yuk?”
Deg! Juntungku
berdegup kencang, selama ini aku belum pernah bolos. Selain itu, Hyung Jun pernah
mengatakan bahwa bolos saat jam sekolah belum selesai itu perbuatan yang tidak
baik.
“Bagaimana? Mau ikut
tidak?” Kevin tersenyum mengejek.
Demi menjaga citra
diriku, aku ikutan membolos. Kami berjalan-jalan di kota. Makan ice cream di
McDonals, nonton bioskop, dan main di timezone. Aku mengikuti langkah Kevin
sampai sore tiba.
“Kevin, sebentar lagi
jam pulang sekolah...”
“Tenang saja, kita
bisa menyelinap masuk ke dalam kelas...” katanya santai.
Aku menarik napas
dalam-dalam. Jam 4 sore adalah jam pulang sekolah di sekolahku. Dengan malas
aku mengikuti Kevin lagi.
“Kamu capek ya?” tanya
Kevin.
“Iya!” Hatiku menjerit
senang karena dia pasti menyuruh pulang, tapi... Kevin tidak menyarankan
demikian.
“Enaknya istirahat
dimana ya...?” gumamnya sambil menatap ke atas.
Aku jadi ikutan
menatap ke atas. Terlihat lampu hotel berada tepat di atas kepala. Tiba-tiba
aku takut Kevin akan mengajakku bermalam di hotel.
Dengan cepat aku
berkata “A...aku gak capek kok.”
“Jeongmalyo? (yang benar?)” tanya Kevin dengan nada
menantang.
“Kalian anak SMA
mana?” dari belakang kami, terdengar suara seseorang menegur kami. Kami
langsung menengok. Orang itu ternyata tidak sendiri, ada dua orang lainnya yang
berjalan di belakangnya. Sepertinya dia preman di daerah sini.
“Kevin...” Dengan
gemetaran, aku menarik lengan Kevin.
Kevin dengan tenang
mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu membuangnya ke tanah.
Klinting!
Bunyi uang logam itu menyentuh
tanah.
“Ah, cholsonghamnida (Oh, maaf)” kata Kevin sambil memungut
uang logam itu.
Preman itu tetap
menunggu kami sambil mengetuk-ngetuk kaki kirinya ke tanah. Aku ketakutan, lalu
tiba-tiba Kevin menarik tanganku dan membawaku lari.
“Ya! Gidaryeo! (Eh!
Tunggu!)” teriak preman sambil mengejar kami.
Kami berlari ke arah lapangan perkir sebuah mall, dan
bersembunyi di balik mobil.
“Preman itu menyebalkan! Dia terus mengejar kita!”
kata Kevin sambil menjulurkan kepala, memeriksa keadaan.
“Terus kita bagaimana?” tanyaku panik.
“Kita tunggu sampai dia tidak mengejar kita,”
Kevin lalu memanfaatkan keadaan untuk merayuku “Tenang
saja, ini pasti akan menyenangkan,” katanya sambil memeluk bahuku dan mencoba
mencium bibirku.
“Ya! Kevin Woo!” Aku
menyikut perutnya dengan keras.
Kevin melepas bahuku, dia terlontar sampai menabrak
pagar besi lapangan parkir.
“Aisssh! Kau ini!”
“Siapa di sana?” Keributan kami terdengar pak satpam
mall. Akhirnya kami di tangkap oleh satpam, dan di bawa ke kantor polisi.
Aku menutup erat-erat mulutku sewaktu diintrogasi di
kantor polisi. Pak polisi tidak mau kalah, dia menelpon ke sekolah melaporkan
kejadian tadi. Seragam sekolah kami mudah dikenal. Guru yang datang menjemput
adalah Hyung Jun.
Setelah itu, aku dihukum tidak boleh keluar rumah
kecuali saat akan berangkat sekolah selama seminggu.
Pagi harinya, saat semua anak-anak pergi ke kantin,
aku mengurung diri di dalam kelas sambil memikirkan Hyung Jun. Aku baru ke
kantin saat bel pulang sekolah tiba.
“Suzy, kamu pacaran ya sama Kevin?”
Anak-anak langsung pada heboh melihat kedatanganku.
“Gak nyangka, cucu ketua yayasan sekolah bisa berbuat
seperti itu. Kabur saat jam sekolah, dan tertangkap oleh polisi.”
“Suzy jangan menyerah! Aku mendukungmu, peraturan di
sekolah ini memang harus di rubah...”
Gosip cepat sekali menyebar...
“Hubunganku dengan Kevin tidak seperti itu!” kataku.
Tapi anak-anak tidak percaya ucapanku.
“Sudah tenang saja Suzy...”
“Beritamu ini sudah tersebar luas, di papan pengumuman
juga ada.”
Setelah mendengar kalimat itu, aku segera berlari ke
papan pengumuman sekolah.
Kevin Woo dan Bae
Suzy kalian mulai minggu depan diskors. Tidak boleh masuk sekolah selama
seminggu karena telah kabur saat jam pelajaran sekolah dan berpacaran. Itu
melanggar peraturan sekolah.
Tertanda
Kepala Sekolah
Pantas saja semua anak-anak mengira aku berpacaran
dengan Kevin. Karena shock, aku memanjat pagar sekolah supaya bisa keluar dari
sekolah dan mencari Hyung Jun.
Baru saja memanjat, tiba-tiba Kevin datang dan
menahanku.
“Ya! Odiga? (mau
kemana?)”
“Pergi sana! Aku mau menemui Oppa.”
“Pabo! (tolol!)
kalau kamu ketauan, kamu tambah diskors...”
“Masa bodoh! aku ingin ketemu Oppa.”
Ekspresi wajah Kevin tiba-tiba berubah, “Aisssh! Dasar
cewek centil! Oppa yang kamu sebut itu, pak guru Hyung Jun kan?”
Aku tidak memperdulikan kata-katanya.
“Suzy! Setelah pulang sekolah kamu kan bisa bertemu
dengannya.”
“Tidak bisa... aku tidak di perbolehkan keluar rumah.”
Karena Kevin terus menahanku, akhirnya aku kesal dan
berteriak padanya. “Aku tidak mau Oppa salah sangka! Kalau dia sampai
membenciku, aku akan mati!” Kevin terkejut mendengar ucapanku.
“Hei! Sedang apa kalian di situ?” guru piket memergoki
kami.
“Cepat injak bahuku!” Kevin tiba-tiba berjongkok dan
membantuku memanjat pagar untuk keluar.
“Kevin...” aku merasa bahagia karena di tolong.
“Cepat lari!”
“Gomawo! (thanks!)”
aku cepat-cepat berlari ke sekolah tempat Hyung Jun mengajar.
Aku berdiri mematung di depan gerbang SMA khusus pria.
Tanganku tidak berani membukanya. Tiba-tiba langit mendung, lalu turun hujan.
Di bawah rintik hujan, aku berjalan tanpa arah. Sampai akhirnya mataku melihat
atap gereja.
Di sini, aku dan Hyung Jun mengucapkan janji sehidup
semati. Dengan gontai aku masuk ke dalam gereja yang kosong, lalu mengenang
kembali masa-masa indah itu. Cincin kawin kugenggam erat, lalu berdoa “Tuhan,
aku sudah berjanji sehidup samati dengan Hyung Jun Oppa... Nan daedanhi
saranghaeyo (aku sangat mencintainya).
Semoga dia tidak membenciku dengan kejadian ini.”
Apa yang ingin kukatakan pada Hyung Jun keluar dengan
lancar.
“Sekarang bukan saatnya untuk mengatakan hal itu...”
tiba-tiba terdengar suara menegurku.
Badanku segera berbalik ke belakang, Hyung Jun ada di
sana sambil tersenyum lebar.
“Kim Hyung Jun selalu percaya pada Bae Suzy,” katanya
lembut. “Suzy, aku tau kamu pasti ke sini.”
“Oppa...” sambil menangis, aku berlari ke pelukan
Hyung Jun.
“Dasar bandel! Lihat, sampai basah begini...”
“Habisnya...”
Hyung Jun sangat istimewa, dia selalu ada di saat aku
membutuhkannya. Di sekolah, tidak ada seorangpun yang sadar kalau aku kabur
kecuali Kevin.
Akhirnya aku dapat menjalani masa hukumanku dengan
tenang.
******
“Aku kagum sama Suzy,” Kevin selalu berkata begitu
padaku. Kepalaku sampai sakit mendengar ucapannya.
Akhirnya masa skorsku berakhir, aku jadi bisa bermain
tiap pulang sekolah usai. Hanya saja, ada yang mengganjal. Kevin jadi suka
mengikutiku.
“Ya! Bae Suzy! Kamu lama sekali. Sudah selesai belum
piketnya?” Kevin berlari mendekat dan menepuk pundakku.
“Selesai kamu piket, kita main yuk?”
“Kamu mau di hukum? Jangan dekat-dekat! Pergi sana!”
Lalu Minhyun lewat. Kevin dengan lantang memanggilnya,
tapi dia dicuekin.
“Kasihan dicuekin...” ejekku.
“Kupingnya rada budek! Coba kalau manggilnya dari
sebelah kiri...”
Aku baru sadar, kalau selama ini setiap aku berbicara
dengan Minhyun selalu dari kiri. Perlahan-lahan aku jadi menyukai Minhyun. Aku
ingin menjadi teman baiknya, makan dan pulang sekolah sama-sama.
Keesokan hari, waktu jam pulang...
“Minhyun, pulang bareng yuk?”
“Duluan saja, hari ini aku piket.”
“Yasudah, aku duluan.”
Baru saja melangkah keluar kelas, tiba-tiba anak
ekskul Taekwondo datang mendekat.
“Di aula ada pertarungan Taekwondo antara Kevin dengan
pak guru Hyung Jun!”
“Bajingan! Ngapain sih Kevin begitu?!” mukaku langsung
pucat pasi. Aku mempercepat langkah. Anak-anak berlarian ke aula.
“Kevin, sudah hentikan! Kamu pasti kalah...!” seruku
begitu sampai.
“Sok tau! Kami kan baru mulai.”
Hyung Jun tersenyum pahit melihat kedatanganku. Karena
merasa berdosa, aku menarik Kevin keluar arena dan membawanya ke tempat kran
air. Luka di sudut bibirnya aku lap dengan saputangan.
“Ah, appayo (sakit)”
“Makanya jangan sok!”
Aku menutup lukanya dengan plester.
“Aku cuma nyoba tau!”
“Dasar sok!”
“Semua ini demi kamu...”
Hatiku menciut mendengar ucapannya.
“Pokoknya ini harus diakhiri.”
Kevin menaruh tangannya dibahuku dan berbisik,
“Saranghae (aku mencintaimu)”
wajahnya semakin dekat, lalu...
“Jangan macam-macam ya!” aku menghindar.
“Pelit banget... Lagian wajar kan, kalau cowok
berantem demi cewek!”
“Oh ya? Playboy sepertimu yang menganggap biasa hal
seperti itu.”
Aku bergegas meninggalkan Kevin, tetapi dia menahanku.
“Menurutmu, pak guru Hyung Jun tidak seperti itu?”
Jantungku terhenti untuk sesaat. Kevin memang kurang
ajar! Dia lalu menjadi-jadi melihatku tidak dapat menjawab.
“Jangan-jangan dia itu calon pendeta.“
“Jaga mulutmu!” kesabaranku habis.
“Dia belum pernah bilang suka kan padamu?”
“Berisik! Lebih baik aku pulang.”
Aku segera berlari menjauh. Tapi ucapan Kevin membekas
diingatanku.
Hari minggu pun tiba, aku bermain ke rumah Hyung Jun.
Entah kenapa, aku ingin mengetahui perasaannya saat berkelahi dulu.
“Oppa, waktu itu kenapa kamu menerima tantangan
Kevin?”
Hyung Jun tidak menjawab pertanyaanku, dia tetap fokus
dengan pekerjaannya.
“Oppa, aku tidak suka bergaul dengan Kevin. Dia itu
anak yang kurang ajar.”
“Wae?”
“Tolong aku, Oppa...”
“Hah...” Hyung Jun menghela napas.
“Kamu tidak mengkhawatirkan aku?”
“Suzy, lebih baik anak seperti itu dijauhi.”
“Araseo (aku tau)”
Hyung Jun sekarang berbeda dengan yang kukenal
sebelumnya. Tapi aku senang, hari ini aku bisa bersama Hyung Jun sampai malam.
Tapi... dia malah sibuk dengan pekerjaannya karena begitu banyak tugas-tugas
sekolah.
“Oppa, masih banyak ya?”
“Iya, aku harus cari bahan pelajaran yang tepat.”
“Tapi sekarang sudah jam 12 malam...”
“Iya, kalau begitu kamu tidur duluan saja.”
“Tidak mau, aku mau menunggu Oppa.”
“Tapi ini masih banyak, lebih baik kamu tidur.”
“Menyebalkan!” mukaku langsung cemberut, Hyung Jun
sadar dengan perubahan ini.
“Suzy?”
Aku bergejolak senang. Rupanya dia mengerti
perasaanku. Dengan mata berbinar-binar, aku menatapnya.
“Tolong ambilkan buku yang ada di atas rak ya.”
Aku menurut patuh, “Yang mana?”
“Yang sampul bukunya warna merah.”
Buku itu berada ditumpukan buku yang paling bawah. Aku
berusaha menarik keluar tetapi tidak bisa karena buku di atasnya sangat berat.
Waktu aku berhasil menarik keluar, buku yang ada di atasnya bertebaran jatuh.
“Suzy!!!” Hyung Jun bergegas berdiri dan menolongku.
Tetapi terlambat, buku-buku itu menimpa kepalaku.
“Gwaenchana? (kamu tidak apa-apa?)”
“Kepalaku...”
“Mana yang sakit?”
Aku membuka mata pelan-pelan, Hyung Jun
ternyata ada di atas tubuhku. Dia menatapku. Jantungku berdegup kencang.
Aku menutup mataku kembali, tapi Hyung Jun
langsung melepaskan dirinya.
“Oppa?”
“Nanti aku yang akan membereskan bukunya.”
Sikap Hyung Jun sangat dingin. Padahal
setiap pria dalam posisi itu pasti akan terangsang, tapi Hyung Jun tidak.
“Oppa...”
“Ne?”
“Gak jadi, aku tidur dulu ya.”
Aku berjalan kekamar tidur lalu memandang
diri sendiri yang memantul di kaca jendela dan merenung.
Keesokan hari, seperti biasa, aku bertemu
Kevin. Entah kenapa, aku tiba-tiba menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
“Kevin, kalau cowok sama cewek berduaan di
malam hari biasanya ngapain?”
“Kalau itu... tergantung suasana. Waeyo? (kenapa?)”
“Kalau cewek itu tidak disukai, cowoknya
bagaimana?”
“Tergantung moodnya lah!”
“Kalau begitu... buat cowok, cewek ideal
itu seperti apa?”
“Ya! Wae? Wae? Wae?”
“Ani (tidak),
aku punya teman yang ada masalah dengan cowoknya...”
“Geurae (baiklah), kalau aku paling malas ladenin cewek murahan dan yang gak
menarik.”
Jantungku berdegup kencang mendengar
jawaban Kevin. Dengan sekuat tenaga aku berusaha tenang.
“Hei, Hyung Jun tunggu!” tiba-tiba
terdengar suara teriakan guru piket memanggil Hyung Jun.
Aku segera sadar kalau Hyung Jun ada di
dekat sini, dan dia juga sadar dengan kehadiranku.
“Cepat pulang!” ujarnya dingin.
“Gila, itu guru dingin bener...” Kevin
terlihat kaget. “Sedikit pun tidak basa-basi.”
Lima hari setelah kejadian itu, hari sabtu
tiba. Aku menerima surat dari Hyung Jun di dalam rak sepatu. Dengan hati yang
berbunga-bunga, aku ingin membuka surat
itu dan membacanya. Hyung Jun pasti ingin mengajakku malam mingguan! Aku
bergegas keruangan praktek kimia menemui Hyung Jun.
Pintu kubuka dengan keras dan
meloncat-loncat masuk ke dalam.
“Oppa, kenapa tidak SMS saja... ini surat
apa? Memangnya malam ini kita mau ke mana? Nonton?”
“Suzy...” wajah Hyung Jun terlihat panik.
“Mianhae, malam ini kita tidak bisa jalan.
Aku ada urusan...”
“Mwo?”
“Aku di undang makan malam oleh ketua
yayasan sekolah...”
“Itu kan nenek. Berarti aku boleh ikut?”
“Dia sudah berpesan untuk tidak
mengajakmu. Mian, Suzy...”
“Oppa jangan pergi...” ucapku sambil
memeluk pinggangnya.
“Suzy, lepaskan! Kamu ini bukan anak kecil
lagi!” Hyung Jun marah.
Aku segera melepaskan diri.
“Aku memang bukan anak kecil! Kalau mau
pergi, pergi aja sana!” teriakku lalu lari keluar.
Sesampainya di rumah, aku bertemu Minhyun
yang sedang berjalan pulang sendirian.
“Baru pulang?”
“Iya, habisnya tadi aku baru saja piket.
Rumahmu di sini?”
“Iya...”
“Oh, yasudah ya, aku pulang dulu.
Annyeong!”
“Ne, Annyeong!”
Di rumah tidak ada siapa-siapa. Saking
bosannya sendirian di rumah, aku memutuskan pergi ke tempat Hyung Jun.
Kamarnya gelap, dan di sudut ruangan ada
kotak kue yang di ikat pita warna pink. Karena penasaran, aku membaca kartu
ucapan yang ada di sebelah kotak kue itu.
Kartu ini ternyata untukku. Hyung Jun
menulis kartu ucapan selamat ulangtahun.
Chagiya...
Aku
yang sekarang ini hanya milikmu. Seandainya kamu gak ada, aku mungkin juga gak
ada.
Selamat
ulang tahun yang ke-18, meski aku telat seminggu mengucapkannya.
Oppa
Hari ini sudah tanggal 17 oktober. Hyung
Jun rupanya ingin memberiku kejutan. Dengan tangan gemetar, aku membuka pita
dan kotak kue. Lilin kunyalakan di tengahnya. Dengan tenang aku menunggu
kepulangan Hyung Jun.
Aku berdiri bermaksud ke dapur untuk
membuat teh menyambut kepulangan Hyung Jun. Tapi baru saja berdiri, tiba-tiba
cincinku jatuh.
Suasana hatiku menjadi tidak tenang.
Jangan-jangan akan terjadi sesuatu yang buruk? Di tengah-tengah ketegangan,
telepon berbunyi.
Aku mengangkat gagang telepon.
“Yoboseyo? (halo?) di sini Bae Suzy...”
“Suzy?”
“Kakek?”
“Hyung Jun mana?”
“Hyung Jun sedang pergi makan malam dengan
nenek.”
“Mworago? Aku telat!”
“Telat?”
“Sudah lupakan, sudah dulu ya.”
“Tunggu dulu, ada apa sebenarnya kek?”
Suara kakek terdengar ragu untuk
menjelaskan.
“Haraboji...” hatiku bertanya-tanya apa
maksud pertemuan Hyung Jun dengan nenek.
“Kek, hari ini untuk apa Hyung Jun bertemu
nenek?”
“Dia... dia mau kembalikan surat nikah
kalian. Kakek menelpon Hyung Jun supaya dia tidak menemui nenek.”
To
Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar