Title: My Boyfriend is a DUCK!
Author: Anita
Genre: Romance
Length: Oneshoot
Main cast:
- Kim Shin Yeong
- Chen (EXO-M)
- Kai (EXO-K)
Rating: NC-21
Note:
“Maaf ya, yang minta Sequel-nya ‘A Were Dog Boy’ gak bisa saya
kabulkan. Karena masih banyak cerita-cerita yang mau saya tulis. Dan,
ini korean NC fan-fiction saya yang terakhir. Mungkin, nanti, selesai
bulan puasa Ramadhan saya akan bikin lagi. Ahahaha Dan maaf kalau yang
ini kurang hot.” – @Anita_Febriany (Official twitter)
Ok, Please comment ^^ Happy reading!!!
******
Ting… Tong…
Bel tanda pulang sekolah berbunyi.
“Kim Shin Yeong!” panggil seseorang. Tapi aku tidak menoleh ke arahnya.
“Wae?” jawabku yang masih sibuk membereskan buku-bukuku yang ada di atas meja.
“Hari ini, aku dan Jiyeon tidak bisa main ke rumahmu. Besok saja ya, Eotte?”
Mendengar
ucapannya, aku langsung menatapnya “Di rumahku tidak ada orang… kau tau
kan, kedua orang tua ku pulang kerjanya malam…” kataku sambil
menggengam tangannya, berusaha untuk membujuknya.
“Mianhae, aku harus membantu ibuku berjualan di Namdaemun, sedangkan Jiyeon katanya akan pergi bersama Sehun oppa hari ini.”
Aku
baru menyadari kalau Jiyeon tidak bersamanya, aku mencari-cari sosoknya
di dalam kelas tapi itu anak sudah tidak ada. Pasti dia sudah keluar
kelas dari tadi tanpa memberitahuku.
Aku
menghela napas panjang. Aku bisa mengerti keadaan Dani, di hari sabtu
seperti sekarang ini dia memang selalu membantu ibunya di Namdaemun,
pasar teradisional yang terbesar di Korea itu. Tapi Jiyeon? Menyebalkan!
“Geurae,”
“Kalau aku ada waktu, aku akan main ke rumahmu. Annyeong!”
“Ne…
Annyeong!” aku melambaikan tanganku pada Dani yang sudah berjalan
keluar kelas. Lalu aku bangkit dari bangkuku sambil membawa tasku.
Aku
menghela napas panjang (lagi). Entah sudah berapa banyak helaan napas
yang keluar untuk hari ini, “Kenapa di malam minggu sekalipun mereka
harus lembur!?” gumamku sedikit kesal pada kedua orang tuaku.
Padahal
kemarin, Dani dan Jiyeon berjanji akan bermain ke rumahku untuk
menginap. Tapi mendadak Dani tidak bisa karena tetap harus membantu
ibunya, sedangkan Jiyeon lebih mementingkan Sehun ketimbang aku yang
sahabatnya sendiri.
Sepanjang perjalanan, aku diam dan terus menatap jalan yang ada di depanku.
“Kwek!
Kwek! Kwek! Kwek!” terdengar suara bebek yang ribut. Kucari-cari dimana
suara itu berasal. Saat aku mencari, ternyata sumber suara itu ada di
Selokan tidak jauh dari aku berdiri.
Selokan
itu tidak ada airnya alias kering, dan kedalamannya sampai batas
lututku. Di Selokan itu aku melihat dua ekor anak bebek yang berwarna
kuning sedang berusaha memanjat naik. Mereka terlihat kesulitan memanjat
karena Selokan itu terlalu tinggi untuk ukuran mereka yang tingginya
hanya sekitar 5cm. Ah tidak, mungkin lebih tinggi (sedikit).
Kenapa
dua anak bebek ini bisa ada di Selokan? Kuhampiri, lalu aku berjongkok
dan berusaha mengambil mereka untuk membantunya keluar. Saat aku akan
mengambil mereka, salah satu dari mereka sempat mondar-mandir
menghindari tanganku yang akan menangkapnya.
Berhasil
menangkap ke dua bebek itu, aku langsung meletakan mereka “Nah,
sekarang kalian bebas…” kataku pada mereka seraya berdiri dan pergi
meninggalkan mereka.
Aku
sibuk membersihkan ke dua telapak tanganku yang kotor. Dan, baru
beberapa langkah aku berjalan meninggalkan mereka, “Kwek! Kwek! Kwek!
Kwek!” aku mendengar lagi suara bebek-bebek itu.
“Apa
mereka mengikutiku?” saat melihat ke bawah, ternyata aku benar. Kedua
anak bebek itu ternyata sudah berada di sebelahku dan menatapku, “Kenapa
kalian mengikutiku?” tanyaku, tapi mereka hanya terpaku menatapku.
Lalu
aku berjongkok untuk berbicara pada mereka, “Dengar, aku ini bukan
induk kalian. Jadi jangan mengikutiku. Araseo?” kataku sambil mendorong
tubuh kecil mereka dengan pelan.
Belum
jauh aku melangkah meninggalkan mereka, suara bebek-bebek itu terdengar
lagi. Aku mempercepat jalanku, tapi suara bebek-bebek itu terus
terdengar, “Aisssh! Apa aku ini terlihat seperti induk mereka? Kenapa
mereka terus mengikutiku? Aku tidak mungkin memelihara bebek di rumah.”
Aku pun mengacak-acak rambutku kesal.
Aku
membalikan badanku, dan benar! Mereka berlari menghampiriku. “Kwek!
Kwek! Kwek! Kwek!” ribut mereka sesaat sudah berasil menghampiriku.
Mungkin mereka berbicara ‘Bolehkah kami ikut bersamamu? Kami sudah tidak punya ibu’ tapi entah lah, aku tidak mengerti bahasa bebek.
Aku
berjongkok dan mulai berbicara (lagi) dengan mereka, sebenarnya aku malu
melakukan ini. Jelas saja, jika orang lain melihat, aku bisa di katakan
orang gila.
“Apa kalian mau ikut bersamaku?” tanyaku.
“Kwek!” jawab salah satu bebek tersebut. Apakah itu artinya ‘iya’?
“Baiklah!” kataku, lalu mengambil mereka. Untung kedua bebek ini masih kecil, jadi aku bisa membawanya dengan mudah.
******
“Aku
pulang…” kataku sambil membuka pintu rumahku. Tapi tidak ada seorangpun
yang menjawab. Jelas saja, karena kedua orang tuaku pulang malam di
hari sabtu seperti sekarang ini. Malam minggu kulewatkan sendiri. Tanpa
kedua orang tuaku, sahabatku dan… tanpa pacar.
Jiyeon
sering menyarankan padaku untuk mencari pacar, bahkan dia pernah
mengenaliku pada teman cowoknya. Tapi aku selalu menolaknya. Entahlah,
mungkin belum ada yang cocok.
Sesampainya di dalam rumah, aku langsung membawa dua ekor bebek itu masuk ke dalam kamarku. Dan meletakan mereka di lantai.
“Kalau ibu dan ayahku sudah pulang, aku akan meminta mereka membuatkan rumah untuk kalian berdua,” kataku pada mereka.
Saat sedang berbicara pada mereka, aku melihat ada sebuah pita yang terikat di kaki mereka. Pita merah dan pita biru.
“Apa kalian hewan peliharaan seseorang?” tanyaku. Tapi mereka hanya diam menatapku.
Aku menghela napas
“Kalian
tunggu di sini, jangan buat kamarku berantakan. Aku akan kembali
membawakan makanan untuk kalian.” Lalu aku berjalan keluar kamar, menuju
dapur.
“Bebek
makannya apa?” gumamku sesaat sampai di dapur. Aku melihat-lihat seisi
kulkasku, akhirnya aku mengambil beberapa lembar roti tawar dan susu.
Sesampainya
di dalam kamar, aku meletakan semangkok susu dan sepiring roti tawar
itu di lantai. “Ini! Semoga kalian suka,” kataku. Mereka langsung
menghampiri mangkok dan piring yang kuletakan.
Lalu
aku berjalan menuju lemari pakaian ku. Saat aku membuka pakaianku,
Kulihat bebek yang berpita merah sedang menatapku tapi langsung di
dorong oleh bebek berpita biru.
“Aneh!” gumamku pelan, lalu melanjutkan kegiatanku.
******
“Apa ini cukup untuk mereka?” tanya ayahku sesaat dia selesai membuat rumah untuk kedua bebek itu.
“Shin Yeong, apa ini sudah cukup?” tanya ayah lagi.
“Ah, Iya…” kataku sambil mengangguk.
Aku
yang terlalu fokus memperhatikan ibuku yang sedang memandikan kedua
bebek itu di keran air depan rumah, jadi tidak mendengarkan ayahku.
Pagi
ini, aku, ibu dan ayahku sibuk mengurus kedua bebek itu. Ayah dari
subuh sudah bangun dan masuk ke dalam gudang untuk mengambil kayu dan
peralatan lain, padahal semalam dia pulang larut malam sekali. Sedangkan
ibu sibuk memandikan mereka, dan aku? Aku sibuk melihat kedua bebek itu
lagi di mandikan oleh ibuku. Entah kenapa, saat melihat bebek-bebek
itu, apalagi yang berpita merah, auranya saat sedang menatapku membuatku
tidak nyaman.
“Aku
akan meletakan rumah mereka di sini, agar kamu bisa memantaunya dari
depan jendela kamar kamu,” kata ayahku sambil merapikan alat-alatnya.
Aku pun mengangguk.
“Ya sudah, ayah dan ibu akan berangkat kerja dulu ya…” Lanjutnya.
Di
hari minggu ayah dan ibu juga harus pergi bekerja? Bisa tidak, kalau
hari minggu minta libur? Hanya untuk hari minggu saja… Ingin rasanya aku
mengatakan itu semua pada mereka!
Aku melirik jam tanganku. Jam sembilan, ayah dan ibuku berangkat kerja memang jam sembilan.
“Baiklah,” kataku.
“Jaga rumah ya…” ayah mengelus kepalaku dengan lembut, tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Lalu ibu menghampiriku, dan menyerahkan kedua bebek itu padaku.
“Kalian sudah punya rumah sekarang,” kataku pada kedua bebek yang sekarang berada di tanganku.
Aku
bangkit dari tempat aku duduk, dan berjalan menghampiri rumah yang di
bangun ayahku. Lalu aku melihat ke arah jendela kamarku yang berada di
lantai dua, “Aku bisa memantau kalian dari sana,”
“Sekarang
kalian tetap di sini, aku akan bawakan kalian makanan,” kataku sambil
memasukan mereka ke dalam rumah barunya. “Jangan keluar-keluar!” kataku
sedikit membentak mereka, karena bebek yang berpita merah mencoba untuk
keluar.
Sesampainya di dalam dapur…
“Ibu berangkat ya sayang,” kata ibuku sambil mencium keningku.
“Ayah juga ya…”kata ayah sambil mengelus kepalaku, lalu bergegas pergi.
Aku hanya tersenyum pada mereka, dan melambaikan tangan dengan semangat.
“Bebek
makannya apa?” aku bertanya pada diriku sendiri, saat melihat seisi
dapur. Aku benar-benar tidak tau, makanan bebek itu sebenarnya apa.
Akhirnya roti tawar dan susu lagi lah yang jadi tujuanku ke dapur.
******
Derrrtt Derrrtt
Suara
ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. Lalu aku menghampiri
ponselku yang berada di atas meja belajar, dan melihat siapa yang
mengirimkan pesan padaku.
Jiyeon? Pesan masuk itu ternyata dari Jiyeon, “Ada apa dia kirim pesan malam-malam begini?”
“Shin
Yeong, mianhae… waktu itu, aku kabur. Karena Sehun oppa tiba-tiba
mengirimku pesan bahwa dia sudah menungguku di depan sekolah. Jadi aku
buru-buru, dan aku tidak bisa main ke rumahmu. Dani pasti sudah
menjelaskannya, kan? Tapi, bisakah sepulang sekolah besok kau ikut
denganku? Ada yang ingin berkenalan denganmu. Namanya Luhan, dia cowok
yang tampan. Ne?”
Selesai
membaca isi pesan Jiyeon, aku meletakan ponselku kembali ke atas meja.
Aku malas membalas pesannya. Tidak penting bagiku, yang terpenting
sekarang bagiku untuk mengurus kedua anak bebek. Entah kenapa ada
perasaan sebal juga dengan sikap Jiyeon, padahal aku sudah tau kalau
sikapnya memang begitu. Karena aku dan Jiyeon sudah berteman sangat
lama.
“Kwek!
Kwek! Kwek! Kwek!” terdengar suara ribut bebek-bebekku dari luar. aku
berjalan menghampiri jendela kamarku untuk melihatnya. Saat jendela
kamarku aku buka lebar-lebar, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya.
Aku
mendongakkan kepalaku melihat ke langit, “Ada apa ini?” gumamku. Lalu
aku menutup kembali jendela kamarku. Baru saja bergerak satu langkah,
JEDAAAARRRR!!!!!
Terdengar
suara hantaman benda besar dari luar. Suaranya begitu keras, sontak
membuatku kaget, “Apa ada TV tetangga yang tersambar petir?” pikirku.
Tapi tidak mungkin, suara tadi seperti bukan suara TV yang tersambar
petir. Lebih terdengar seperti meteor yang jatuh, dan suaranya tepat
berada di depan rumahku.
Apa mungkin…
“Bebek-bebekku!!!” mataku membulat lebar setelah menyadarinya.
Aku langsung berlari keluar rumah dengan tergesa-gesa, rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku.
Sesampainya
di depan rumah bebek-bebekku berada, aku terduduk lemas. Ternyata suara
keras itu bukan datangnya dari rumah mereka. Tapi… aku baru menyadari,
hujan lebat itu sudah tidak ada. Dan aku duduk di tanah yang kering,
seperti baru saja tidak terjadi hujan lebat.
Lalu
aku berdiri, dan mulai berjalan lambat menghampiri rumah bebek-bebekku.
Tapi saat melihat ke dalam rumah mereka, mereka tidak ada.
“Mereka
kemana?” tanyaku sambil terus mencari-cari mereka tapi tetap tidak
ketemu. Aku terduduk lemas lagi di tanah, dan air mataku mulai
menggenang di pelupuk mataku yang siap tumpah membasahi kedua pipiku,
namun dengan cepat aku menghapusnya dengan jari tanganku.
Tiba-tiba
dari belakang seperti ada seseorang yang membelai rambutku dengan
lembut, saat aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang membelai
rambutku.
Aku langsung berdiri dan mengambil langkah menjauh dari kedua cowok itu, “Nu…Nuguseyo?” tanyaku tergagap.
Tapi kedua orang cowok itu hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Senyumannya membuatku takut. Apa mereka pencuri?
“Tolong!!!
Emmmh” aku menjerit minta tolong, tapi langsung terhenti karena bibirku
sudah dibungkam oleh bibirnya, bibir dari salah satu cowok itu.
Deg!
Jantungku berdetak kencang. Aku mencoba mendorong tubuhnya, agar aku
bisa melepas ciumannya. Tapi tangannya menahan tengkukku untuk
memperdalam ciumannya.
“Kai,
hentikan. Jangan membuatnya takut. Kita ini kan peliharaannya,” kata
cowok yang dari tadi berdiri di belakangnya. Lalu cowok yang menciumku
ini, langsung melepaskan ciumannya.
Peliharan?
Cowok yang satunya, baru saja mengatakan kalau mereka itu hewan
peliharaanku? Apa jangan-jangan mereka berdua ini adalah bebek-bebekku?
“Gwaenchanayo?” tanya cowok itu.
Aku
tersadar dari lamunanku, dan langsung melihat lengannya. Cowok yang ada
di hadapanku sekarang ini, memakai pita warna biru. Sedangkan cowok yang
di panggil Kai, yang menciumku tadi, memakai pita warna merah.
“Apa… kalian adalah bebek-bebekku?” tanyaku ragu-ragu.
Dan
cowok yang memakai pita biru di lengannya, mengangguk menandakan Iya.
Aku hanya diam membatu, tubuhku seperti tidak bisa bergerak. Aku
benar-benar terkejut dengan semua ini.
Hujan? Meteor jatuh? Ah, bukan, suara tadi bukan suara meteor jatuh. Buktinya rumahku baik-baik saja. Apa aku sedang bermimpi?
******
Sekarang
hari-hariku ditemani oleh kedua siluman bebek ini, Chen dan Kai. Itu
nama mereka. Kenapa aku mengatakan mereka siluman? Karena saat ada orang
lain, mereka akan berubah menjadi bebek. Mereka akan jadi manusia hanya
di depan ku.
“Aku Chen dan dia Kai,” kata cowok yang berpita warna biru dilengannya, saat memperkenalkan dirinya padaku.
Awalnya
aku benar-benar menganggap ini semua hanya mimpi, tadi saat tersadar…
aku benar-benar di dunia nyata, duniaku. Aku berkali-kali memukul pipiku
karena tidak percaya. Tapi, satu minggu telah berlalu. Dan, mereka
sampai sekarang terus bersamaku.
“Aku lapar,”
Suara Kai menyadarkan lamunanku.
“Aku lapar,” katanya lagi.
“Kalau lapar, ya makan saja!” kataku sedikit kesal karenanya.
“Boleh?”
“Iya, kamu boleh…” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, tiba-tiba saja Kai mendorong tubuhku ke atas tempat tidur.
Dia
tersenyum, “selamat makan,” katanya sambil mencium bibirku dengan buas.
Bibirku dihisap atas dan bawah secara bergantian, dan mengulumnya lalu
menekannya agar lebih dalam.
Tok! Tok! Tok!
“Kai!!!
Apa kau di dalam???” teriak Chen dari luar kamar, dan terus mengetuk
pintu kamarku. Entah sejak kapan pintu kamarku sudah terkunci. Mungkin
Kai yang menguncinya saat aku sedang melamun.
Braaakkk!
Suara pintu yang di buka dengan kasar, karena di tendang oleh Chen.
Di
pintu kamar, Chen berdiri mematung dengan raut muka yang campur aduk
antara marah dan kaget. Sementara di atas tempat tidur, Kai terus
menciumku. Membuatku sulit untuk bernapas. Semenit kemudian, Kai baru
tersadar kalau Chen sedang melihatnya berciuman denganku.
“Kamu sedang apa berdiri di situ?” tanya Kai saat melihat Chen yang diam mematung di depan pintu kamar.
Mendengar pertanyaan Kai, Chen langsung tersadar.
“A…apa yang sudah kau lakukan pada Shin Yeong!” bentak Chen tapi dengan suara tergagap.
“Kenapa? Bukankah kita harus melakukan ini kalau mau jadi manusia?” ucapnya berbalik bertanya.
Tapi Chen hanya diam dan menundukkan kepalanya.
“Apa
maksudmu?!” bentakku sambil mendorong tubuh Kai yang berada di atasku.
Kai langsung terjatuh, dan Chen langsung berjalan menghampiri ku.
“Sebenarnya,
jika di antara kita berdua bisa menjadi pacarmu. Kita bisa kembali
menjadi manusia dan gak harus berubah menjadi bebek lagi jika orang lain
melihat kita,” kata Chen mencoba menjelaskan padaku dengan suara yang
lirih. Kai yang sedang berdiri dibelakangnya, hanya menganggukkan
kepalanya tanda setuju dengan ucapan Chen.
“Saat berpacaran, manusia selalu melakukan ‘itu’ kan?” tanyanya tiba-tiba.
Melakukan..itu? Aku hanya bisa menelan ludahku mendengar pertanyaannya.
“Jadi,
maukah kamu jadi pacarku?” tanya Kai sambil berjalan menghampiriku. Aku
yang masih terduduk di atas tempat tidur, langsung mundur untuk
menghindari Kai.
“Tutup
pintunya Chen!” perintah Kai lalu naik lagi ke atas tempat tidurku dan
menatapku. Chen dengan nurut langsung berjalan menghampiri pintu kamar
untuk menutupnya.
Aku
benar-benar ketakutan, aku jadi terpojok oleh kedua cowok ini. Tanpa
berkata-kata, Kai langsung menerkamku seperti serigala. Ditindih dan
diciuminya sekujur tubuhku. Aku tidak bisa menghentikannya. Dan entah sejak kapan, Kai sudah berhasil membuka bajuku dan bra ku.
Tangannya
menjelajah ke sekujur tubuhku. Meremas-remas payudaraku. Dan jemarinya
langsung menyelip masuk ke dalam rokku, menusuknya ke lubang vaginaku.
“He…hentikan! kalau orang tua ku sudah pulang, akan ku laporkan!” ancamku yang berusaha melepaskan diri.Tapi
Chen yang sudah naik ke tempat tidurku, langsung memegangi kedua
tanganku. “I…ini namanya pemaksaan!!!” jeritku. Kai tidak memperdulikan
ancamanku, lalu melepas kaos, dan celana jeansnya sendiri.
“Kai, aku mohon lepaskan aku,” bisikku lemah.Tapi Kai membalas dengan ciuman di bibirku. Kemudian Kai mulai menciumi sekujur tubuhku dan ketika tepat di vaginaku dia
membuka pahaku lebar-lebar lalu menunduk, wajahnya mendekati vaginaku.
Dia menjilati vaginaku dan membasahinya dengan saliva.
Chen yang menonton itu hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Matanya terus memperhatikan Kai.
Mungkin karena sudah tidak tahan, dia segera membuka baju, celana jeansnya, berserta celana dalamnya. Dan dia benar-benar sudah neked sekarang.
Chen
langsung mendorong tubuhku agar tiduran, dan terlihat jelas di depan
wajahku juniornya yang sudah menegang. Lalu dipaksanya aku untuk
mengemut juniornya. Aku yang hanya bisa menggelengkan kepala untuk
menolaknya. Tapi tangan
Chen lalu meremas dengan kasar kedua payudaraku, “Aaahhh…” desahku
keras, yang membuat Chen langsung memasukan juniornya ke dalam mulutku.
Kai
yang dari tadi menjilati vaginaku, tiba-tiba langsung memasukan
juniornya. “Emmmhhh,” aku tidak bisa berteriak karena ada juniornya Chen
di mulutku. Kai mencoba mendorong juniornya masuk.
“Aaahhh…” desahnya saat sudah berhasil masuk ke dalam vaginaku. Lalu dia menggesek juniornya dengan tempo lambat.
Aku
meremas paha Chen menahan rasanya perih yang ku rasakan saat junior Kai
masuk, sampai membuat air mataku mengalir. Diusapnya air mataku oleh
Chen dengan lembut. Lalu aku mulai kuemut juniornya naik-turun, dan
kuhisap kuat-kuat.
“Aahhh…
Ssshhh… Aahhh…” desah Kai saat dia mempercepat gejotannya. Tubuhku jadi
terhentak-hentak karena gerakan cepat Kai yang menggenjot juniornya.
Aku
hanya memejamkan mata, dan terus mengulum junior Chen. Sampai akhirnya
cairan putih kental milik Chen langsung memenuhi ruang mulutku, dengan
susah payah aku berusaha menelannya.
Setelah
hampir 20 menit Kai menggenjot juniornya di lubang vaginaku, akhirnya
Kai mengerang dan memuntahkan lahar spermanya di dalam.
“Bisakah kita gantian?” tanya Chen pada Kai, lalu Kai bangkit dan menarik juniornya yang masih tegang dari lubang vaginaku.Dan Chen segera mengambil alih posisi Kai, tapi Chen menarik lenganku dan membalikan tubuhku. Aku tidur tengkurap sekarang.
Chen mendorong pantatku untuk sedikit menungging, agar dia bisa memasukan juniornya yang basah karena cairannya dan salivaku.
Kai yang sekarang berada di posisi Chen, langsung menggenggam tanganku untuk menuntunku mengocok juniornya.
Lalu aku mendekatkan wajahku. Tanganku memegang juniornya dan kukulum juniornya sehingga membuatnya mendesah.
“Aaahhh…” desahnya dengan mata yang terpejam sambil mendorong kepalaku agar lebih dalam mengulumnya. Kai memaju-mundurkan kepalaku diselangkangannya.
Aku terus memasukan juniornya ke dalam mulutku, lalu kukulum sambil mengocoknya.
Chen yang berusaha memasukan juniornya, saat juniornya benar-benar sudah masuk kelubangku dengan perlahan dia menggeseknya.
“Mian,” katanya, lalu mempercepat gerakannya.
“Aaahhh…
ssshhh… aaahhh” Chen terus semakin kuat menghentakkannya di lubangku
sambil mendesah keras. Ujung penisnya menusuk-nusuk lubangku yang terasa
sesak karena juniornya yang semakin membengkak.
Lalu ditekannya dalam-dalam juniornya dan akhirnya Chen menyemprotkan spermanya.
Aku melepaskan kulumanku di junior Kai, “Aaahhh…” desahku saat menikmati muntahan sperma Chen.
Tubuh kami berkilat oleh keringat dan dari lubangku meleleh sperma kental milik Chen dan Kai.
“Aaakkkhhh…” desahku keras, karena Kai meremas kedua payudaraku dengan kasar.
“Siapa yang menyuruhmu berhenti!”
Kai mencoba mendorong kepalaku lagi agar aku terus mengocok dan mengulum juniornya, tapi Chen menepis tangan Kai.
“Jangan kasar dengan Shin Yeong!” bentak Chen pada Kai.
Aku yang menungging, akhirnya tumbang. Aku mencoba mengatur napasku.
Chen yang melihatku sudah lemas itu langsung mengeluarkan juniornya dari dalam lubangku, lalu mengusap kepalaku dengan lembut.
Kai
yang masih belum puas, menarik lenganku paksa untuk bangkit dan
memasukan juniornya ke vaginaku yang duduk di pangkuannya. Aku mendesah
kesar.
“Aaahhh… aaahhh…” desahnya sambil menaik-turunkan tubuhku.
Chen hanya bisa diam melihat perlakuan Kai terhadapku.
Aku
pun mengimbangi dengan bergoyang naik-turun. Kai yang melihat payudaraku
naik-turun itu juga, lalu meremasnya dengan kasar. Sementara, aku hanya
memejamkan mata menahan perlakuan Kai.
Sambil
terus menaik-turunkan pinggangku, dan Kai melumat dan menjilat
payudaraku sebelah kiri dan sebelah kanan masih di remasnya dengan
kasar.
“Sudahlah Kai, kamu sudah sangat keterlaluan…”
Chen menarik paksa lenganku agar terlepas dari Kai.
“Bukankah memang harus begini?” perotes Kai saat aku benar-benar sudah tidak berada di dekapannya.
“Tapi, cukup sampai di sini!” bentak Chen, lalu dia menatapku.
“Mianhae, Shin Yeong…” kata Chen sambil mengelus pipiku dengan lembut.
Aku hanya menundukkan kepala, diam.
Chen yang menatapku penuh kecemasan, lalu berkata “Maukah kamu jadi pacarku?”
Aku
pun menganguk. Lalu Chen memeluk tubuhku sambil mengelus-elus rambutku.
Terlihat bahwa Chen sangat bahagia dengan jawaban yang sudah aku berikan
padanya.
The End…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar