The Game EXO NC (Jumat, 24 Agustus 2012)
Author : Luane Sovels
Judul : The Game
Kategori: NC 17, Yadong, Oneshoot
Cast:
-
Luhan
- OC (Rena)
Wow, rasanya seperti melakukan comeback
stage. Pertama kali ngepost fanfic kesini tahun lalu dan berjeda hampir….setahun?
Entahlah. Boleh promote blog sendiri ga? Hanya untuk potongan-potongan FF NC.
Full stories tetep bakal diposting ke KNC. Silahkan mengintip ke http://luanesovels.tumblr.com. Oh, iya. Tidak semua cowo berwajah imut benar-benar imut. Luhan
has something. I mean, he has something.
————————
Tidak pernah terbersit dibenak dipikiran
Rena untuk melakukan hal seperti ini.
“Kau setuju untuk melakukannya.”
Rena mengangguk dengan enggan tanpa punya
pilihan mendengar pernyataan itu. Sama sekali bukan pertanyaan, karena memang
Rena tidak diizinkan untuk memilih.
“Coba kita lihat. Mungkin seharusnya kita
membuat beberapa peraturan disini.”
Jika tidak dalam keadaan seperti ini,
mungkin Rena akan membentaknya. Rena sangat membenci seringai penuh arti pria
itu. Tapi alih-alih merasa bisa melawannya, Rena merasa gemetar sekaligus
tergoda melihat pria yang sekarang berlutut menatapnya.
“Tidak ada perlawanan.” Peraturan pertama.
Rena menggigit bibirnya, merasa ragu apakah
ia akan menyukai peraturan-peraturan lain yang akan diberikan pria itu.
“Tetap berada pada posisimu selama aku
belum memerintahkan apapun.”
Ini yang tidak disukai Rena.
“Dan jangan lupa, kau tahu bagaimana harus
memanggilku,” mendadak saja senyum pria itu terlihat polos. Polos dan tidak
berdosa. Sangat jauh dari kesan yang bisa ditimbulkan ketika ia melakukan itu.
“Kau tidak menjawab?” pertanyaan itu jahil.
“Ya, Luh―” Rena mengerang ketika Luhan
memukul pinggulnya. Tidak keras tapi cukup membuatnya terkejut.
“Tuan.” Suara Rena terdengar begitu enggan. Tapi bahkan ucapan
tanpa keikhlasan itu cukup membuat Luhan merasa senang.
Luhan mendekatkan wajahnya ke wajah Rena,
cukup membuat punggung gadis itu menyentuh lembutnya selimut dibawahnya. Bibir
mereka bertemu dalam ciuman ringan.
“Aku tidak percaya kau tidak akan melawan.”
Dengan kalimat itu Luhan mengangkat kedua
tangan Rena keatas kepalanya. Kemudian yang didengar Rena adalah suara ‘klik’.
Kedua tangan Rena terbelenggu ke tiang tempat tidur. Rena mencoba menarik
tangannya. Tidak sakit. Rena tahu itu adalah jenis borgol yang biasa digunakan
untuk kegiatan seperti ini. Darimana ia mendapatkan sex toy?!
“Luhan,” entah mengapa suara Rena terdengar
lirih. Rena memekik ketika baru menyadari kelalainnya. Dengan kasar Luhan
meremas bokong Rena. Tubuh gadis itu menggeliat. Tapi tidak ada gunanya.
Tidak ada gunanya jika kau terbelenggu
seperti ini.
Dalam sekejap helaian kain terakhir yang
menutup tubuh Rena sudah lenyap. Tangan Luhan bekerja jauh lebih cepat dari
yang bisa dikira Rena. Mata Luhan menelusuri salah satu karya cipta Tuhan itu
dengan tatapan kagum. Jari telunjuknya menyentuh ringan puncak payudara Rena,
membuatnya semakin mengeras.
Rena memejamkan matanya, rona merah dikedua
pipinya ketika ia sadar mata Luhan masih menelusuri setiap titik tubuhnya.
“Ini tidak adil,” erang Rena ketika
akhirnya ia berani membuka kedua matanya. Ia menangkap Luhan masih mengenakan
celana jeansnya sementara dirinya sudah polos.
Luhan menurunkan wajahnya. Ia menyapukan
bibirnya dipipi gadis itu, menerima erangan kecil sebagai reaksi. Bibirnya
kembali ke bibir Rena, berhenti tanpa melakukan aksi apapun.
“Sudahkah aku memberitahumu tidak ada
protes disini?” ia berbicara diatas bibir Rena.
Ingin Rena mengalihkan matanya dari tatapan
Luhan yang panas. Tapi disaat yang bersamaan ia juga tidak bisa. Mata Luhan
memberikan pancaran gairah yang kuat, membuat Rena merasa terbakar.
Luhan sengaja tidak melakukannya segera. Ia
ingin membuat gadisnya tersiksa, ia ingin menjahili Rena. Walau sebenarnya
bukan sekedar satu-dua kali ia sudah melakukannya, pikiran itu selalu bisa
menghiburnya.
Bibir Luhan menemukan tempatnya ditengkuk
Rena. Dalam sekejap desahan tanpa akhir keluar dari bibir Rena. Ketika Rena
menyadari suara-suara memalukan itu meluncur tanpa henti dari bibirnya, ia
menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahannya. Dan seringkali itu membuat Luhan
tidak menyukainya. Dengan lembut Luhan menggigit kulit sensitif Rena, kembali
menerima erangan―yang bahkan hampir merupakan pekikan―dari bibir Rena.
“Tuan… Luhan…” Dada gadis itu naik-turun
dengan cepat. Napasnya sudah kacau.
Senyum bangga tersungging dibibir Luhan.
Aku yang membuatnya kacau. Selalu ada kebanggaan dalam diri Luhan setiap kali
ia melihat gadisnya berantakan.
Bibir Luhan menangkap puncak payudara Rena
dan gadis itu terkesiap merasakan panasnya mulut Luhan didadanya. Salah satu
tangannya meremas payudara Rena yang lain, memberikan gadis itu kemanjaan.
Merasa cukup dengan tubuh bagian atas Rena,
tangan Luhan berjalan turun dan turun. Telapak tangannya sempat mengusap lembut
perut rata Rena ketika kemudian ia mendapatkan kedua kaki Rena yang tertutup
rapat. Ia melepaskan bibirnya dari payudara Rena, mengangkat kepalanya agar sejajar
dengan kepala Rena.
“Aku tidak suka kau menutup kedua kakimu.
Buka.”
Rena membuka kedua kakinya pelan dan ragu.
Hal itu membuat kesabaran Luhan mencapai batasnya. Dengan kuat ia membuka kedua
kaki Rena dengan tangannya, menyingkapkan kewanitaan Rena yang sudah begitu
panas dan basah.
Luhan tersenyum melihat tubuh Rena. Bibir
Luhan kembali ke dada Rena. Hanya tangannya yang menyusuri bagian bawah tubuh
Rena. Jari Luhan menemukan jalan dengan sendirinya. Tanpa basa-basi, Luhan
menggesekkan salah satu jarinya dipuncak kesensitifan terluar Rena.
Erangan kembali lolos dari mulut Rena
ketika Luhan menggesekkan jarinya dengan kasar. Rena melengkungkan dan
menggeliatkan tubuhnya merasakan sensasi yang menyengat tubuhnya.
“Luh―”
Satu tamparan kecil di payudara Rena.
“Bukankah aku sudah memberitahumu bagaimana
memanggilku?”
Rena memekik ketika Luhan menenggelamkan
jarinya kedalam tubuh Rena.
“Tuan!”
Jari kedua kembali tenggelam didalam tubuh
Rena.
“Gadis pintar.”
Begitu panas dan basah tentang bagian tubuh
Rena yang mengelilingi kedua jarinya. Tanpa ragu Luhan bermain didalamnya. Ia
memutar jarinya, bahkan keluar-masuk dengan cepat.
Tubuh Rena berkedut kencang ketika tidak
lama kemudian gadis itu mencapai puncaknya yang pertama, membasahi hingga
telapak tangan Luhan.
“Luhan… jangan―oh!”
Rena belum pulih dari puncak kenikmatannya,
tapi Luhan tidak berhenti. Lidahnya sudah menyentuh lipatan Rena yang begitu
basah.
“Tuan! Jangan!”
Tidak boleh ada perlawanan, pikir Luhan.
Rena hendak menutup kedua kakinya, tapi
tangan Luhan lebih cepat. Ia menahan kedua kakinya hingga tetap terbuka.
Bukan hal yang sulit karena kekuatan gadis
itu kalah jauh dari kekuatan Luhan. Luhan menikmati tubuh Rena yang terasa
dilidahnya.
Awalnya ia hanya memberikan jilatan-jilatan
kecil yang lembut. Tubuh Rena masih berkedut pelan, dan ketika lidahnya
menyentuhnya kembali, kedutan itu semakin kencang.
Erangan-erangan erotis keluar dari mulut
Rena. Dan ketika Luhan menghisap tubuh Rena kencang, gadis itu terus menerus
memanggil namanya tanpa henti. Betapa Luhan menyukai ini. Tapi Luhan belum
selesai. Ia menyelipkan lidahnya diantara lipatan panas tubuh Rena.
Gadis itu mengerang tidak setuju. Giginya
menemukan apa yang ia mau. Ia menggigit lembut lipatan tubuh Rena. Singkat,
Rena kembali menemukan puncaknya dimulut Luhan.
Luhan menjilat sisa-sisa kegairahan Rena
yang ada dibibirnya. Ia menikmati kekacauan yang disebabkannya. Napas yang
tidak beraturan, dada yang turun-naik, keringat Rena yang bercucuran dan juga
bagian bawah tubuh Rena yang berwarna merah muda. Juga panas.
Luhan mencium payudara Rena kembali dengan
pelan. Tangannya meraih pergelangan tangan Rena. Kembali terdengar suara ‘klik’
dan tangan Rena terbebas dari borgol yang dipasang Luhan.
“Bangkit dan berbalik.”
Rena masih merasa tubuhnya lemas karena ia
sudah mencapai puncaknya dua kali.
Pelan ia bangkit dengan bertumpu pada
lututnya dan berbalik memunggungi Luhan, sama sekali tidak tahu permainan apa
lagi yang akan dimainkan Luhan. Napas Luhan panas menyapu leher belakangnya,
bibir Luhan berada ditelinganya dengan napas yang terdengar sama kacaunya.
“Kali ini aku tidak akan memborgolmu. Tapi
tanganmu harus berpegangan pada tiang.”
Rena mengangkat tangannya dan menggenggam tiang
tempat tidur. Ia membuka kedua pahanya sedikit sekedar menyeimbangkan posisi
tubuhnya. Luhan yang memperhatikan setiap gerakan Rena merasa tidak puas.
“Lebih lebar.”
“Eh?”
Rena memalingkan wajahnya kebelakang tidak
mengerti. Tapi Luhan sudah meraih kedua paha Rena dan melebarkannya seperti
yang ia mau.
Tubuh Rena terbuka dengan jelas dan ia
hanya berada beberapa inci dari tempat tidur. Rena mengeluarkan makian ketika
mendadak saja Luhan menampar bokongnya. Dan entah mengapa ia merasa dirinya
basah kembali ketika Luhan melakukannya.
“Gadis nakal, huh? Kau suka ketika aku
menampar bokongmu?”
Rena menggeleng. Tapi itu membuat Luhan
kembali menampar bokongnya. Saat itulah ia merasa cairan yang panas dan basah
menetes dari tubuhnya. Dan Luhan melihat itu.
“Kau tahu apa yang akan kulakukan melihat
gadis nakal sepertimu?”
Rena terdiam mendengar suara decit tempat
tidur yang ditinggalkan Luhan. Pria itu berjalan kesalah satu sudut kamar dan
mengambil sesuatu.
“Kau tahu apa ini?” tanya Luhan ketika ia
sudah kembali.
Rena menahan napas mengetahui benda apa
yang ditunjukkan Luhan padanya. Ia baru saja hendak menolaknya saat Luhan
menyelipkannya dengan cepat dibagian bawah tubuh Rena. Genggaman tangan Rena
menegang ketika pria itu menyalakan alat yang sudah berada didalam tubuhnya.
“Kau akan mendapat hukuman yang lebih berat
jika kau semakin basah.”
Getaran yang ditimbulkan vibrator itu
membuat tubuh Rena kembali basah.
Pikirannya kacau. Ia bahkan tidak sadar
ketika Luhan sudah tidak menyentuhnya, membiarkan gadis itu bersama salah satu
sex toy yang memang sudah ia rencanakan ingin ia coba pada gadisnya.
Luhan melepas celana jeans bersama seluruh
sisa kain yang menutupi tubuhnya dan melemparnya kelantai. Ia sudah begitu
keras, siap membuat gadisnya menjerit dan tidak bisa berjalan jika ia sudah
berada didalam tubuhnya.
Luhan kembali pada Rena yang masih
menggenggam tiang tempat tidur dengan patuh walau tubuhnya terlihat melemas.
Luhan tidak pernah tahu bahwa permainan ini
benar-benar menyenangkan. Ia mendekat ke Rena, dengan sengaja menempelkan
tubuhnya yang mengeras pada bokong Rena. Rena menyadari Luhan yang sudah begitu
siap.
“Tuan…” suara Rena terdengar memohon,
memintanya menghentikan permainan yang membuat tubuhnya menjadi gila. Tapi
Luhan merasa masih belum cukup. Tangannya meraih vibrator itu dan dengan pelan
ia memutarnya didalam tubuh Rena. Dan tidak lama alat permainan itu sudah
keluar masuk dari dalam tubuh Rena. Dan malam itu, Rena sudah mencapai
puncaknya yang ketiga kali. Luhan mematikan alat itu lalu mengeluarkannya dari
tubuh Rena.
Rena langsung menunduk lemas dengan
bertumpu pada sikunya. Kakinya masih terbuka lebar dan sisa-sisa kenikmatannya
menetes keatas tempat tidur. Basah.
“Kita belum selesai,” bisik Luhan ditelinga
Rena.
Tangan Rena meremas selimut ketika
merasakan ujung tubuh Luhan sudah berada dipuncaknya. Rena menggigit selimut
dibawahnya ketika Luhan memasuki tubuhnya dengan tiba-tiba. Alih-alih
melakukannya dengan gerakan yang lembut seperti yang biasa dilakukannya, Luhan
melakukannya dengan cepat, bahkan sedikit kasar. Ia mengeluarkan dirinya hingga
hanya puncak dirinya yang tertinggal, kemudian menenggelamkan tubuhnya kembali
dengan cepat. Gerakannya cukup membuat Rena yakin bahwa ia tidak akan bisa
berjalan dengan benar setelah ini.
Erangan mereka berdua memenuhi malam itu.
Suara kulit yang terus menerus bertemu menemani malam Luhan dan Rena yang
sensual. Kedua paha Rena gemetar. Luhan masih melakukannya dengan gerakan yang
begitu cepat.
Malam itu Luhan begitu keras dan tebal,
membuatnya merasa jauh lebih penuh dari biasanya. Mata Luhan menangkap kedua
payudara Rena yang bergerak mengikuti gerakannya yang cepat.
Ia meremas kedua paha Rena, menariknya
semakin mendekat, kemudian tangannya meremas kedua payudara Rena.
Bibirnya mencium punggung Rena yang
terlihat begitu seksi dimata Luhan. Rena tidak bisa memikirkan bagaimana
mungkin Luhan bisa melakukan semua hal itu secara bersamaan.
Saat itulah, tubuh Rena kembali berkedut
kencang. Luhan menikmati sensasi itu. Ia tahu apa yang akan terjadi saat tubuh
Rena yang basah kembali menyelimutinya. Belum sempat ia memikirkan selanjutnya,
tubuh Rena bergetar dan Rena kembali mencapai puncaknya. Makian keluar dari
bibir Luhan.
“Luhan…cukup―Ah.”
Luhan belum mencapai puncaknya. Dan itu
memang rencananya. Ia akan membuat gadis itu sekacau yang ia bisa. Luhan masih
bergerak cepat didalam tubuh Rena sementara gadis itu masih mengeluarkan
erangan yang bercampur dengan protes. Dengan satu kali hentakan keras, Luhan
mencapai puncaknya. Keringat membasahi tubuhnya dan tubuh Rena. Bahkan bagian
tubuhnya yang masih mengeras juga basah karena Rena.
Mereka berdua berdiam pada posisi seperti
itu selama beberapa saat sebelum akhirnya Luhan mengeluarkan tubuhnya dari
tubuh Rena.
Rena ambruk ke tempat tidur dengan napas
yang terengah-engah. Rasanya setiap inci tubuhnya berkedut kencang.
“Kita belum selesai,” ucap Luhan diantara
deru napasnya.
Rena menoleh ke arah Luhan dengan terkejut.
Kemudian matanya berjalan turun, menatap tubuh Luhan yang masih tebal dan
keras. Tanpa penjelasan Rena mengerti maksudnya dan ia mendadak merasa
merinding.
“Tidak.”
Luhan sudah melompat keatasnya.
“Tidak ada perlawanan.”
Rena membenci seringai itu.
“Apa rencanamu?!”
Rena hendak mendorong Luhan tapi pria itu
sudah mengunci kedua tangannya diatas kepalanya―hanya dengan salah satu
tangannya. Insting Rena bangkit dan ia menutup kedua kakinya.
“Sudah berapa kali kau orgasme?” tanya
Luhan santai. Tangannya yang bebas bermain dengan payudara Rena, jarinya
memutar pelan puncaknya.
“Aku tidak menghitungnya,” nada suara Rena
terdengar mulai kesal.
“Bad girl,” gumam Luhan.
“Apa yang kau rencanakan?” Tanpa jawaban,
Luhan membuka kedua kaki Rena dengan tangan dan kakinya. Gadis itu kembali
terekspos. Mata Rena membulat karena marah.
“Aku lelah, pria idiot! Malam ini―” tapi
bibir Rena dibungkam oleh ciuman Luhan yang basah dan panas.
Perlawanan Rena membuat permainan ini
terasa semakin menantang bagi Luhan. Ia menggigit bibir bawah Rena, membuat
Rena terpaksa membiarkan lidah pria itu bergumul dengan lidahnya dalam ciuman
yang penuh gairah.
“Yang ingin aku dengar adalah ‘aku lelah,
tuanku. Tapi malam ini kau boleh bermain sesuka hatimu dengan tubuhku’.”
Saat itu Rena ingin menendang Luhan. Bibir
Luhan kembali kebibirnya. Rena mencoba melepaskan tangannya dari genggaman
tangan Luhan saat ia merasakan puncak Luhan yang masih begitu keras menggodanya
dari luar.
Ia mengerang dibibir Luhan saat pria itu
menenggelamkan sedikit bagian tubuhnya kedalam tubuh Rena.
“Aku anggap itu sebagai persetujuan.” Dan
Luhan menghujamkan tubuhnya kedalam tubuh Rena.
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar