Selasa, 11 Juni 2013

[My FF] Bring My Life Back (Chapter 3)




Author: Anita
Genre: Romance
Length: Chapter
Main Cast:
-          Jeon Boram (T-Ara)
-           Xi Luhan (EXO-M)
Rating: PG-17
Attention! Sorry if in chapter  1 and chapter 2 there is typo. This is my fanfiction chapter 3. Happy reading... :)


******

“Jadi, Xi Luman itu adalah adik kakekku?”  gumam Luhan.
Kedua orang yang ada di foto itu adalah pemilik pahatan nama yang kami temukan di pohon.
“Nama adik kakekku lucu juga.”
“Luhan...”  potongku tanpa memperhatikan Luhan yang sedang merasa senang dengan nama adik kakeknya itu.
Aku berpikir sendiri tanpa memedulikan Luhan. Sejak melihat foto itu, jantungku jadi berdebar-debar. Apa Luhan berpikir kalau kejadian ini bukan suatu kebetulan? Bagiku, ini bukan suatu kebetulan. Kenapa kedua orang itu mirip sekali denganku dengan Luhan?
“Benar kan!”
Suara Luhan menyadarkan lamunanku. Luhan menemukan album foto,  matanya berbinar-binar menatap album itu.
“Boram, mungkin ada orang yang tau tentang foto ini.”
“Apa maksudmu?”
“Orang ini...!”
Luhan menunjuk sebuah foto di album itu.
“Yang mana?” tanyaku.
Aku menatap foto yang Luhan tunjuk. Itu foto adik kakeknya Luhan bersama teman-temannya. Ada seorang gadis kecil di dalam foto itu. Ada tulisan di bawah foto itu “Teman masa kecil Ums”
“Eh? Jangan-jangan ...”
“Yes!” Luhan menatapku wajahku.
“Menurutmu cewek yang bernama Ums ini mirip siapa?”
“Siapa...?”
Kalau dilihat, cewek ini mirip sekali seseorang yang kukenal. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana...
“Gak paham juga? Sekarang, lihat ini!”
Luhan mengeluarkan sebuah buku yang berisi nama dan alamat para guru sekolah kami. Di halaman paling depan, tertulis sebuah nama  ‘Kepala Sekolah Jung Ums’ . Ah! Pantas saja, wajah gadis kecil yang ada di foto itu tidak asing bagiku. Jadi, dia ibu kepala sekolah?
“Aku jadi teringat, saat pertama kali bertemu dengan beliau. Beliau tampak terkejut saat melihatku.”
Kami terdiam untuk sesaat.
“Ayo, kita pergi!” ajak Luhan sambil menggandengku.
“Mau kemana?”
“Bodoh! Menurutmu kita mau ke mana?”
Luhan mengepit album foto itu.
Luhan mengajakku ke rumah ibu kepala sekolah.
Ibu kepala sekolah pasti tau semuanya. Dia pasti bisa membantu untuk menyelesaikan semua peristiwa aneh ini. Aku ingin tau, apa hubungannya peristiwa ini dengan Luhan dan aku. Kenapa foto kedua orang itu mirip sekali dengan kami berdua?


******


Perjalanan menuju rumah ibu kepala sekolah, memakan waktu 30 menit dengan naik bis. Kedatangan kami yang mendadak, cukup membuatnya kaget. Tapi dia tetap menyambut kami dengan senyum khasnya.
“Tolong lihat ini,” kata Luhan seraya meletakan beberapa foto di atas meja tamu.
Untuk sesaat, ibu kepala sekolah terpaku memandangi foto-foto itu. Kemudian dia mengangkat wajahnya.
“Foto ini, saya yang memotretnya.” Katanya sambil tersenyum lembut kepada kami, kemudian dia melanjutkan.
“Foto ini di ambil beberapa hari sebelum Bo Young meninggal.”
“Meninggal? Dia kan masih muda?” tanya Luhan tidak sabar.
“Dia meninggal karena terkena radang paru-paru.” Jawabnya.
Ibu kepala sekolah menghela napas.
“Itu sudah lama sekali. Saat itu, kami masih sangat muda. Waktu kecil, rumahku dekat dengan klinik kakakmu. Orang tua kakek  Luhan sangat baik. Dia membesarkan kakek mu dan adik kakekmu dengan baik. Saya cukup dekat dengan mereka. Terutama dengan Luman.”
Tiba-tiba kepala sekolah tersenyum tersipu-sipu.
“Saya pernah berkhayal, kalau saya sudah besar nanti, saya akan menikah dengan Luman.”
Wajahnya berubah menjadi sedih.
“Tapi, kemudian Bo Young datang ke kota ini untuk memulihkan penyakit radang paru-parunya.” Lanjut kepala sekolah sambil menyentuh foto itu.
Aku dan Luhan terus mendengar cerita ibu kepala sekolah., dia menceritakan semuanya yang tersimpan dalam hatinya selama ini.


******


Aku dan Luhan berjalan menuju rumah paman. Kami baru saja dari rumah ibu kepala sekolah. Sepanjang perjalanan, kami berdua diam. Dalam diam, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tadi, ibu kepala sekolah bercerita tentang peristiwa masa lalunya. Peristiwa itu seperti terhubung dengan kami berdua.
“Kalian tau, sekolah kita bekas klinik?” tanya kepala sekolah.
Aku dan Luhan menggeleng.
“Bo Young adalah salah satu pasiennya.”
Saat itu, kakek Luhan berkerja sebagai dokter di klinik itu. Saat itu, usianya baru dua puluh tahun. Adiknya, Luman. Sering datang untuk membantu kakaknya. Di sanalah, Luman bertemu Bo Young. Mereka saling jatuh cinta.
Namun, keadaan Bo Young memburuk. Menjelang kematiannya, mereka berdua sempat membuat foto kenang-kenangan di bawah pohon tempat Luhan dan aku menemukan pahatan nama mereka.
Kepala sekolah bercerita seperti sedang kembali ke masa lalu. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Mereka memahat nama mereka berdua di pohon itu. Mereka bilang, walau kematian akan memisahkan mereka, mereka pasti akan bertemu di tempat yang sama. Mungkin dalam bentuk yang berbeda.”
Dua tahun kemudian, Luman meninggal. Ibu kepala sekolah tidak tau tentang kematian Luman.
“Saya kaget saat melihat wajah Luhan pertama kali karena dia mirip sekali dengan Luman. Begitu juga saat aku melihat Boram. Ini kebetulan yang aneh. Luhan memang ada hubungan darah dengan Luman, sedangkan Boram? Tidak ada hubungan darah dengan Bo Young.”
ucapannya berhenti di situ. Lalu dia memandangi  wajahku lekat-lekat. “Mungkin ucapanku ngawur. Tapi bagiku, Luman dan Bo Young seolah lahir kembali dalam diri kalian berdua.”
“Boram? Ya! Nam Boram!”
“Ah, Ne?”
Panggilan Luhan menyadarkan lamunanku. Ternyata kami sudah sampai di depan rumah paman.
“Kenapa suka sekali melamun? Ada apa?”
“Ah, gak...”
Luhan berpikir sejenak sambil menatapku.
“Jangan dipikirkan lagi, peristiwa sudah di pecahkan.” Katanya setengah bercanda.
“Iya...”
“Jangan memasang wajah seperti itu...! tambah jelek tau!” katanya sambil mengacak-acak rambutku. “Sebentar lagi kamu akan di operasi, jangan mikirin yang gak-gak. Pikirkan saja kesehatan mu...!”
“Iya...”
Mendengar kata operasi, seperti ada pisau yang merobek dadaku. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum di depan Luhan.
Luhan mencium bibirku. “Tidur yang enak ya...? Annyeong!” pamitnya.
“Ne, Annyeong!”
Aku melambaikan tangan padanya. Tapi, ada rasa gelisah di dalam hatiku sejak mendengar cerita ibu kepala sekolah tadi.
Memang semuanya sudah di pecahkan, mulai perasaan yang kurasakan saat pertama kali bertemu Luhan sampai perasaan deja vu yang kurasakan saat ini. Aku percaya, pasangan kekasih yang hidup di masa lalu kembali dalam diriku dan Luhan. Mungkin ini sudah takdir kami berdua. Tapi, kenapa ada rasa gelisah yang timbul dalam hatiku?
“Aku pulang...”
Tidak ada jawaban dari bibi maupun paman. Aku melihat sepasang sepatu. Apa ada tamu? Aku mengintip dari celah pintu. Ternyata ibu dan ayah! Saat aku hendak membuka pintu, aku mendengar percakapan mereka.
Terdengar suara mama yang mengejutkanku.
“Tapi, presentase keberhasilan operasi itu sangat kecil.”
Jantungku berdetak kencang.
Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi! Aku pergi meninggalkan rumah paman. Matahari sudah terbenam. Apakah nasib aku dan Luhan akan sama dengan Bo Young dan Luman?
Aku terus berjalan, tanpa sadar aku sudah sampai rumah Luhan. Kulihat kamar Luhan menyala.
Kuambil kerikil kecil dan kulempar ke jendela kamarnya. Tak lama, wajah Luhan muncul di jendela.
“Boram?”
Luhan kaget melihatku. Dia bergegas menghampiriku.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa ke sini malam-malam begini?!” bentaknya cemas.
“Luhan...” aku langsung memeluknya.
“Boram?”
Suara Luhan terdengar tegang.
“Kenapa menangis?”
“Gak mungkin...”
“Apanya yang gak mungkin?”
“Operasi itu...”
Luhan menatapku.
“Operasi itu gak mungkin... Aku akan mati!”
“Apa maksudmu?”
“Aku akan mati!” air mataku mengalir deras.
Aku akan mati seperti Bo Young. Takdir itu akan terulang kembali.
Luhan terdiam sesaat. “Aku mengerti!” katanya. “Tunggu di sini sebentar.”
Dia masuk ke dalam rumah, tak lama dia kembali dengan membawa botol obat.
“Luhan? Ini untuk apa?”
“Obat nyamuk.”
“Obat nyamuk?”
Dia mengangguk pelan.
“Aku akan mati bersamamu,” katanya sambil menatapku.


******


“Aku akan minum obat nyamuk ini.” Kata Luhan ringan.
Dia membuka tutup botol yang di bawanya. Aku hanya bisa melihatnya.
“Kalau memang takdir kita sama seperti Luman dan Bo Young, untuk apa aku menunggu dua tahun? Lebih baik aku mati sekarang.”
Tanpa ada rasa ragu, dia mencoba membuka tutup botol obat nyamuk itu.
“Luhan...”
Aku tidak mau berpisah dengannya.
“Hentikan!” teriakku.
Aku mengambil dan membuang botol itu. Lalu aku memukul tangannya.
“Boram?”
Luhan menatapku bingung sambil memegang tangannya yang kupukul.
“Luhan jangan mati!” teriakku.
“Boram, ada apa?”
“Luhan jangan mati! Kalau aku mati, Luhan harus tetap hidup!”
Aku mulai menagis lagi. Aku tidak bisa membayangkan kalau Luhan mati.
“Kamu juga, jangan mati. Ne?” katanya sambil tersenyum lembut padaku.
Aku melihatnya.
“Kita berdua gak boleh mati. Kalau Luman dan Bo Young hidup lagi dalam diri kita, maka pertemuan kita adalah bagian dari takdir yang akan menyatukan mereka.” Kata Luhan yakin.
“Kita... Kita hidup dan di pertemukan untuk mengulang lagi takdir mereka yang belum ke sampaian.” Kata Luhan tenang.
“Luhan...”
“Mereka hidup lagi dalam diri kita, supaya bisa hidup bahagia selama-lamanya.”
Tiba-tiba aku merasakan perasaan aneh seperti dulu lagi.


******


Tibalah hari dimana aku harus kembali ke Seoul. Hanya Luhan yang mengantarku  ke terminal. Bibi, paman, dan teman-teman sekelas tidak mengantarku karena mereka membiarkan aku dan Luhan menikmati kebersamaan sebelum berpisah.
Terdengar suara teriakan kernet supaya penumpang segera naik bis. Aku menatap Luhan melalui jendela bis.
“Sayonara!*
(*bahasa jepang: selamat tinggal)
“Sayonara? Hahaha Boram! Aku gak suka menelepon atau menulis surat. Jadi, begitu selesai operasi kamu langsung kembali ya?” teriaknya dari luar jendela bis.
“Iya...”
“Janji ya...!”
Kami berdua sudah memahat nama kami berdua di pohon itu sebagai janji kami akan bertemu lagi dalam takdir yang bahagia.
“Boram!” Luhan berteriak di jendela bis  yang mulai bergerak. “Aku mau jadi dokter! Bukan jadi pemain sepak bola maupun menjadi boyband...!”
Ucapan Luhan membuatku ingin tertawa, tapi aku senang dengan keinginannya menjadi dokter. Luhan mengejar bis yang bergerak meninggalkan terminal sambil berteriak.
“Aku mau jadi dokter, kalau jadi dokter aku bisa mengoperasi bekas luka akibat operasimu!”
Aku bahagia mendengarnya.
“Makanya, jalani operasimu dengan tenang ya...!” teriaknya lagi.
“Luhan...”
Bis bergerak cepat, wajah Luhan menghilang dari pandangan. Air mataku mengalir saat bis meninggalkan kota ini.
Aku akan tetap hidup, dan bertemu Luhan lagi...


******


Dua tahun kemudian...

“Oper! Oper!”
“Ayo bertahan...!”
Terdengar teriakan anggota klub sepak bola yang sedang berlatih. Jantungku berdebar kencang. Aku berjalan menuju lapangan sekolah.
Aku berdiri di bawah pohon sambil memandang sosok dokter muda yang sedang menonton anggota klub sepak bola. Aku memanggil orang yang ku rindukan itu.
“Luhan...!”
Dia berpaling ke arahku. Dia tampak terkejut. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum.
“Luhan...!”
Aku berlari ke arah Luhan. Sekarang Luhan sudah menjadi dokter di usianya yang baru saja dua puluh tahun. Dia menjadi dokter di sekolah ini, menggantikan dokter sekolah yang berhenti karena akan menikah.
Luhan mengajakku masuk ke dalam ruangannya.
“Tidak ada yang berubah,” kataku sambil melihat-lihat seisi ruangan kesehatan.
“Boram...”
“Hm?”
Tiba-tiba aku tersentak saat Luhan menarik tanganku, melumuti bibirku.
“Bogoshipo*” bisiknya di telingaku.
(*aku merindukanmu)
“Luhan... mmmmmhh,” Luhan menarik pinggangku sampai tubuhku menempel ke tubuhnya.
Luhan terus menciumku, ciumannya tidak bisa kulepaskan. Aku tidak pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya.
“Luh...mmmmmhhh,” aku mencoba melepaskan ciumannya tapi ciuman Luhan semakin kuat.
Percuma saja aku mencoba melepasnya!
Aku mulai membalas ciumannya. Kulingkarkan lenganku ke lehernya. Meremas pelan rambutnya.
Luhan semakin menekan ciumannya, lidahnya menerobos masuk ke dalam bibirku dan menjilati lidahku. Dan tangannya mengelus-elus dadaku lembut.
Tiba-tiba tangannya mencoba melepas kaos yang kukenakan.
“Luhan!”  teriakku membuatnya terkejut, dan membuat Luhan menghentikan ciumannya.
Aku buru-buru membenarkan kaosku.
“Mian, aku hanya ingin melihat luka bekas operasimu...”
Pandangan tidak lepas dari dadaku.
“Apa luka bekas operasi itu...”
Luhan belum menyelesaikan pertanyaannya, tapi aku memotongnya.
“Luhan, kenapa kamu tidak bekerja di klinik dokter Kris?” tanyaku.
“Boram...”
“Aku rindu dokter Kris, bisakah kamu mengantarku ke klinik dokter Kris?”
Luhan menatapku dengan cemas. Aku buru-buru tersenyum.
“Ada apa? Ayo!” kataku sambil menarik tangannya keluar ruangan.
Dia menghentikan langkahnya.
“Saranghae*
(*aku mencintaimu)
Luhan memelukku, lalu aku membalas pelukannya. Ada suara yang berbisik di telingaku memberitau kisah cinta kami pasti akan abadi.


The End...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar