Selasa, 11 Juni 2013

[My FF] Bring My Life Back (Chapter 2)




Author: Anita
Genre: Romance
Length: Chapter
Main Cast:
-          Jeon  Boram (T-Ara)
-           Xi Luhan (EXO-M)
Attention! This continuation of chapter 1. Please comment. Happy reading... :)


******

Tanpa kusadari, aku sudah tiga kali melewati pohon besar itu.  Saat itulah aku baru sadar kalau aku tersesat. Aku lelah dan kehabisan napas. Pohon-pohon yang di sekitarku tumbuh rapat, sehingga jadi agak gelap.
Kakiku yang penuh tanah terasa sakit. Dan detak jantungku semakin cepat. Aku tidak mau mati di sini! Aku duduk di bawah pohon dengan perasaan gelisah dan takut.
Jika aku belum kembali ke sekolah, guru-guru pasti akan mencariku. Sebaiknya aku harus tetap menunggu di sini. Aku bernapas perlahan, tapi detak jantungku semakin cepat. Kutekuk lututku di dada, seolah-olah ingin menahan detak jantungku. Apa aku akan mati? Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku, dan detak jantungku semakin cepat.
Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Tiba-tiba hujan turun. Suasana di sekitar mulai menggelap.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda seseorang mencariku. Badanku mulai terasa seperti membeku dan jantungku semakin terasa sakit. Ini salah satu gejala jika penyakitku kambuh.
Detak jantungku semakin cepat, kucoba untuk bernapas sekuat tenaga. Aku tidak mau mati seperti ini! Dan aku tidak mau mati di tempat ini! Akhir-akhir ini aku sering memikirkan tentang kematian. Aku takut.
Badanku terasa kaku, sulit untuk digerakan. Aku mulai sulit bernapas. tolong aku...! Pa... Ma... Bibi... Paman... Tolong aku...! Luhan...!
“Boram...! Nam Boram!”
Aku terkejut. Ada suara yang memanggilku.
“Boram!”
Mungkin hanya khayalanku.
“Boram!”
Luhan memanggilku dalam gelap. Aku yakin itu suara Luhan.


******


“Boram!”
Terdengar suara yang tidak asing lagi.
“Lu...Luhan?”
“Kamu masih sadar?”
“Luhan...”
“Syukurlah!”
Saat kubuka mataku, terlihat wajah cemas Luhan. Kupikir suara yang kudengar tadi hanya khayalanku saja.
Kepalaku terasa bergoyang dan semuanya jadi gelap.
“Dasar anak bodoh! Bertahanlah!”
Saat sadar, badanku sudah diselimuti jaket Luhan. Satu kancing seragamku terbuka.
“Mi...mianhae*” kata Luhan tergagap.
(*maaf)
Aku tau apa yang dia lakukan tadi.
“Aku pernah melihat kakakku menangani pasiennya yang terkena serangan jantung. Biasanya dia mengurut dada pasiennya. Maaf, cuma itu yang terlintas dipikiranku tadi.”
Dia memalingkan wajahnya dariku. Aku juga jadi malu.
“Gomawoyo*” ucapku lemah.
(*terima kasih)
Luhan duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa.
“Kamu datang untuk mencariku?”
“Tentu saja. Mereka semua langsung mencarimu waktu tau kamu menghilang. Mereka cemas, karena hari sudah gelap dan hujan juga turun. Sebentar lagi kakakku, bibi dan pamanmu, beserta tim pencarian akan datang.”
Mereka semua mencari dan mencemaskanku...
Mataku jadi berkaca-kaca. Seiring dengan perasaan bahagia yang muncul, tiba-tiba mataku menggelap. Luhan menompang badanku yang akan rubuh.
“Boram...!” Luhan menepuk-nepuk pipiku pelan. “Gwaenchana?*
(*apa kamu baik-baik saja?)
Aku mengangguk dengan lemah.  Aku terlalu lama di tempat ini, huajn turun sehingga sekujur tubuhku terasa membeku.
“Dingin...”
Mendengar perkataanku, Luhan berpikir sejenak. Dia mulai membetulkan letak jaketnya yang ada di tubuhku, lalu dia merengkuh dan memelukku erat-erat.
“Luhan...?”
“Ini cuma sebentar. Aku takut kamu kena radang paru-paru.”
“Tapi Luhan...”
“Bersabarlah. Aku gak mungkin bikin api unggun dalam keadaan yang gelap dan meninggalkanmu di sini. Jadi, tetaplah seperti ini.”
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Hangat... Kata itu yang muncul dipikiranku. Kehangatan tubuhnya terasa olehku.
“Luhan...”
“Ne?”
Aku mencoba menatap wajahnya.
“Setiap aku kesusahan, Luhan selalu datang untuk menolongku. Waktu pelajaran olahraga juga kan?”
“Iya...”
Tatapannya penuh kehangatan. Aku suka melihat wajahnya yang seperti itu.
“Apa itu kamu lakukan karena aku adalah pasien dari kakakmu?”
Dia diam.
“Luhan...”
“Sudah, jangan banyak bicara. Nanti kamu kehabisan napas.”
“Gak apa-apa, lebih baik bicara daripada diam.”
Napasku memang sesak, tapi ada banyak yang ingin kubicarakan pada Luhan.
“Aku ingat saat Luhan menyinggung soal operasi itu,”
“Maaf, waktu itu aku banyak bicara tanpa berpikir dulu tentang perasaanmu.”
“Gak apa-apa, tapi kamu benar. Aku memang takut untuk di operasi.”
Baru kali ini aku mengakui rasa takutku pada orang lain. Air mataku mulai mengalir deras.
“Aku takut mati Luhan...”
“Tenanglah...” ucap Luhan sambil mengelus kepala Boram dengan lembut.
“Saat masih tinggal di Seoul, ada cowok yang aku sukai. Dia teman dari kakakku. Namanya Kai. Tapi kata kakakku di surat, dia segera akan menikah,”
“Sudah, jangan bicara lagi!”
Napasku semakin sesak dan pandanganku menggelap.
“Tapi aku tidak menangis. Aneh ya? Biasanya, cewek akan menangis jika ditinggalkan seseorang yang di sukainya. Dan ternyata aku menyadari itu semua, kalau orang yang kusukai telah melupakanku.”
Mataku semakin berat, dan air mataku terus mengalir.
“Makanya... Aku...”
Aku takut mati dan dilupakan.  Kesadaranku mulai hilang. Tapi terdengar samar-samar suara Luhan yang memanggilku.
“Boram!”
“Jangan lupakan aku, ne?”
“Kamu yang jangan melupakan ku!” bisik Luhan ditelingaku.
Luhan menghapus air mataku dengan tangannya dan menatap wajahku. Tatapannya benar-benar penuh kehangatan. Kemudian Luhan mencium bibirku dengan lembut. Saat bibir Luhan mulai memberikan tekanan pada ciumannya, kekuatan di tubuhku hilang. Aku lunglai di dada Luhan.
“Boram... Nam Boram... buka matamu!”
Suara Luhan semakin menjauh.
“Aku... Aku menolongmu bukan karena kamu adalah pasien kakakku! Dari awal... Aku... Aku selalu...”
Selalu apa? Hanya itu yang terakhir kudengar. Tapi sesaat kesadaranku benar-benar menghilang, ada perasaan bahagia menyelimuti hatiku.

******

Dua hari kemudian...

Saat tersadar, aku berada di ruang rawat klinik milik dokter Kris. Sesaat setelah aku pingsan, kakak Luhan, bibi dan pamanku, dan seluruh tim pencari menemukan kami. Aku terkena radang paru-paru karena terkena hujan. Menurut dokter Kris, tubuhku cukup kuat karena aku sudah tinggal beberapa bulan di kota ini.
Begitu papa dan mama tau tentang kejadian ini, mereka jauh-jauh dari Seoul langsung datang untuk melihat kondisiku. Begitu aku sadar, papa dan mama memarahiku.
“Jangan mentang-mentang sudah kuat, terus kamuikut-ikutan hiking!”
“Kamu itu masih sakit! Cobalah nurut sedikit!”
Aku senang mereka mencemaskanku. Saat dimarahi, aku tertawa-tawa saja.
Aku harus beristirahat di klinik selama seminggu. Teman-teman sekelas datang menjenguk. Kata dokter Kris, saat aku menghilang, mereka semua mencariku. Para guru sudah menyuruh mereka untuk pulang, karena hari sudah gelap. Tapi mereka tetap menungguku di sekolah sampai aku ditemukan.
Aku menyesal karena sudah membuat mereka semua cemas. Saat aku mengucapkan terima kasih, mereka tersipu malu.
“Gak apa-apa Boram... sikap kami selama ini sudah cukup menyusahkanmu.” Kata mereka.
Aku jadi menyukai mereka. Selama ini, aku sukar berteman dengan mereka.
“O iya Boram, saat kamu menghilang... Luhan loh yang paling cemas di antra kami,” kata Ahyeon.
“Dia memaksakan diri untuk mencarimu,” kata Seorin.
“Boram...”
“Apa?”
“Maafkan kami ya? Waktu itu, kami sangan cemburu padamu,” mereka berdua membungkukkan badan.
“Cemburu?”
“Luhan sepertinya cuma tertarik pada Boram saja...”
Apa maksud mereka?
“Kami sangat menyukai Luhan. Bahkan hampir setengah anak cewek di kelas kita menyukai Luhan. Biarpun dia usil, tapi dia baik dan idola di sekolah kita. Di antara semua cowok di sekolah, cuma dia yang paling cakep.”
Ahyeon dan Seorin tersipu malu.
“Selama ini, dia sepertinya tidak berminat melirik cewek” kata Ahyeon.
 “Tapi sejak Boram ke sini, Luhan jadi berubah.” Ujar Seorin.
“Jeongmal?*
(*benarkah?)
“Iya, benar. Bahkan dia seperti ingin melindungi Boram.”
“Melindungiku? Padahal di kelas dia sering menjahiliku dan menggodaku.” Kilahku.
“Kenapa Boram bilang begitu?!” kata Ahyeon sebal.
“Luhan selalu melindungimu. Sejak ada Boram, si pembolos itu jadi rajin.”
“Bolos?”
“Iya. Saat piket juga, Luhan selalu mengerjakan bagian Boram.” Kata Seorin.
Iya sih... saat piket, Luhan selalu mengerjakan bagianku. Tapi, dia melakukan itu karena katanya aku ini lambat sekali.
“Sebelumnya kami gak tau kalau Boram mengidap lemah jantung. Jadi, saat melihat Luhan yang begitu melindungimu, kami menjadi sebal.”
“Tapi kejadian kemarin memang kacau,” kata Ahyeon sambil menghela napas panjang.
“Waktu melihat Luhan panik karena Boram hilang, kami cemburu sekali loh!”
“Ne?”
“Tapi dia hebat!”
Ahyeon dan Seorin tersenyum penuh arti.
“Saat para guru menyuruh kita untuk menunggu, Luhan tidak menghiraukannya dan tetap pergi untuk mencarimu,” kata Ahyeon.
“Saat kalian ditemukan oleh tim pencari, Luhan terus menggendongmu sampai ke klinik,”
Apa perasaan bahagia yang meluap saat mendengar perkataan Seorin. Perasaan itu tak tertahankan sampai membuat mukaku memerah.
“Suasana jadi heboh loh!” ujar Seorin.
“Tidak ada seorangpun yang mengganggunya saat menggendongmu sampai klinik,” timpal Ahyeon.
“Tapi...”
“Jangan malu-malu begitu. Hahaha...” kata Seorin sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Sejak awal kamu juga suka kan sama Luhan?”
Mereka mulai menggodaku. Aku jadi teringat kehangatan saat Luhan memelukku dan kelembutan ciuman Luhan di bibirku.


******

“Luhan... Ayo, semangat!”
“Maju terus!!!”
Aku dan teman-teman sekelas sedang bersorak memberi dukungan pada Luhan dan teman-temannya yang sedang bertanding sepak bola di lapangan sekolah.
Sejak keluar dari klinik, kondisiku membaik. Akhir-akhir ini, badanku semakin sehat. Mungkin berkat kota ini, yang bersih dan jauh dari perkotaan yang padat dan kotor karena polusinya. Selain itu, aku sudah memiliki banyak teman. Di antara teman-teman sekelasku, Ahyeon dan Seorin yang menjadi teman dekatku.
“Kalian berisik sekali!” teriak Luhan di tengah lapangan.
Walaupun suka mengomel, dia selalu mengantarku pulang setelah kegiatan klubnya selesai.
“Orang yang tidak tau jalan sepertimu mudah sekali tersesat!” gerutunya setiap mengantarku pulang.
Luhan tidak pernah memberitauku kelanjutan dari perkataannya sesaat sebelum aku pingsan. Tiap kali ku tanya, dia selalu menjawab “Mungkin itu Cuma perasaanmu saja” tapi aku bisa membayangkan kelanjutan ucapannya itu.
“Boram...!”
Luhan berlari dari lapangan mendekatiku sambil menyeka keringat yang ada di dahi dan lehernya. 
Pertandingan sepak bola selesai.
“Aku mau ganti baju dulu, kamu tepat di sini. Tunggu aku. Nanti aku akan mengantarmu pulang. Araseo?*
(*mengerti?)
“Hm!” aku mengangguk tanda mengerti dan tersenyum padanya, Luhan membalas senyumku dan dia pergi untuk mengganti baju.
Anggota klub sepak bola yang melihat menggoda kami berdua. Ahyeon dan Seorin hanya tersenyum.
“Kalian bikin iri saja!”
“Belum pacaran saja sudah mesra seperti itu.”
Aku hanya tersenyum menanggapi gurauan mereka. Lalu aku pergi menuju pohon besar tempat biasa aku menunggu Luhan. Tempat yang sama, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Apa ini yang di sebut cinta pada pandangan pertama?
“Boram!”
“Ne?”
Aku menoleh menatap Luhan, wajahnya tampak cemas.
“Kenapa melamun? Kamu gak enak badan?”
“Aniyo* aku hanya sedang berpikir.”
(* tidak)
Aku tersenyum. Dia memang suka mengomel, tapi sejak kejadian hiking tempo hari dia jadi sangat perhatian. Dia mudah sekali merasa cemas padaku.
“Kamu harus pulang sebelum hari gelap!”
Luhan yang hendak melangkah, tiba-tiba berhenti dan pandangannya tertuju pada sesuatu yang ada di belakangku.
“Itu apa?” Luhan menyentuh batang pohon besar itu.
“Memangnya apa?”
“Ini seperti pahatan nama.”
Aku tidak tau ada pahatan nama di batang pohon ini.
“Pahatannya agak kabur.” Luhan mendekatkan wajahnya pada pohon itu.
“Bo... Bo young... Park Bo young! Xi... Xi Luman...?”
Xi Luman? Nama apa itu? Aneh sekali, tidak seperti nama seseorang.
“Mana?” tanyaku.
Aku berjinjit melihat pahatan itu. Karena letaknya lebih tinggi dariku. Pahatannya dipahat dengan menggunakan pisau, sepertinya sudah lama sekali karena tulisannya terlihat sudah mengabur.
Park Bo Young
Xi Luman
Aku terkejut melihat ukiran kedua nama itu. Aku seperti sedang melayang ke dunia yang tidak kuketahui. Tapi itu hanya sedetik. Saat tersadar, Luhan seperti sedang terhipnotis oleh nama itu.
“Luhan?”
“Ne?”
“Luhan juga merasakan apa yang aku rasakan?” tanyaku penasaran.
“Tentang apa?”
“Sepertinya aku mengetahui nama orang yang ada di pahatan itu.”
Luhan menatap wajahku, lalu kembali melihat pahatan kedua nama itu.
“Aku mengerti sekarang!”
“Apa?”
“Pantas kamu mengetahui kedua nama ini. Nama ini kan mirip nama kita berdua.”
“Apa hubungannya?”
“Ini lihat...” dia menunjuk nama depan itu ‘Bo’ dan ‘Xi Lu’
“Mirip kan? Tapi kenapa cowok ini bernama Xi Luman?” katanya sambil tertawa.
“Hahaha iya.”
Benar juga. Tidak terpikirkan olehku, kenapa aku malah merasa aneh melihat nama itu?
“Boram! Ayo pulang!” Luhan membawa tasku dan berjalan duluan.
“Luhan... Tunggu!”
Aku berlari mengikuti Luhan. Masih ada perasaan aneh di hatiku.
Saat melewati sisi gedung ruang kepala sekolah, kami bertemu kepala sekolah yang sedang memandang keluar dari jendela ruangannya.
“Seonsaengnim... Annyeong!*” ucapku.
(*ibu guru... sampai jumpa!)
Dia tampak kaget dengan ucapanku. Tapi dia langsung tersenyum lembut seperti biasannya.
“Ah, Ye~ Annyeong!* Hati-Hati di jalan.”
(*Oh, Ya~ Sampai jumpa!)
“Ne!” Aku membungkukkan badan.
Ada kesan kesepian dalam senyumnya. Ada gosib yang mengatakan, dia tidak menikah karena pria yang di cintainya meninggal kecelakaan mobil, mobil yang dikendarainya masuk ke dalam jurang saat akan menuju tempat mereka akan melangsungkan pernikahan.
Aku menoleh kegedung yang bercet hijau itu, dan sosok ibu kepala sekolah masih terlihat di jendela.
“Boram! Ini sudah sore. Ayo...” kata Luhan tidak sabaran.
“Ne...!”


******


Aku menyukai kota ini. Udaranya segar. Aku punya banyak teman, dan tentunya punya Luhan. Aku mulai berpikir, aku akan tetap tinggal di sini. Tapi, orang tuaku dan dokter Kris bilang kalau aku harus kembali ke Seoul untuk menjalani operasi.
Aku ingin hidup bahagia seperti sekarang ini. Untuk apa menjalankan operasi? Tanpa operasi dan hanya tinggal di sini saja, penyakitku berangsur membaik.
Aku ingin tetap tinggal dan hidup di sini. Aku suka udara di kota ini. Tidak seperti di Seoul, biarpun di Seoul ada sahabat dan ke dua kakakku yang tampan. lagipula, Luhan ada di sini. Lulus dari SMA, aku ingin berkerja di tempat dokter Kris. Biar lebih dekat dengan Luhan. Tapi ada sebuah peristiwa yang menghancurkan semua impianku untuk terus berada di sini.
Saat itu, pelajaran baru saja selesai. Aku pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Setelah itu, aku dan teman-teman mau menonton pertandingan klub sepak bola di lapangan sekolah. Tapi Ahyeon dan Seorin sudah menunggu di lapangan.
“Tolong kembalikan buku ini ditempatnya semula!” kata petugas perpustakaan.
Aku mencari rak buku yang sesuai dengan buku yang kupinjam. Saat itu, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Dan pintu perpustakaan di buka dengan kasar.
“Boram...! Apa kamu ada di sana?”
Aku terkejut. Itu ternyata suara Ahyeon
“Boram!!!”
Kali ini terdengar suara teriakan Seorin.
“Apa apa?”
Muka mereka terlihat pucat. Ada apa dengan mereka?
“Tarik napas... Cerita, ada apa?” tanyaku tegang.
“Boram, aku mohon kamu jangan kaget ya?”
“Ada apa? Cepat cerita...” jantungku mulai berdetak kencang.
“Luhan...”
“Luhan cedera saat bertanding tadi!”
Buku yang belum sempat kuletakan di rak terjantuh ke lantai.
“MWO?!*”
(*APA?!)
“Iya... saat bertanding tadi, ada pemain yang tidak sengaja menendang kepala Luhan...”
“Kepala Luhan mengeluarkan banyak darah!”
“Iya, sekarang Luhan berada di ruang kesehatan.”
Aku berlari menuju ruang kesehatan. Apa dia bodoh?! Kenapa tidak bisa bedakan kepala dengan bola?! Air mataku mulai mengalir, detak jantungku semakin tidak terkendali. Kulihat bercak-bercak darah berceceran di sepanjang jalan menuju ruang kesehatan. Apa ini darah dari kepala Luhan?
“Luhan!!!” teriakku sambil membuka ruang kesehatan.
“Boram ssi, anda tidak boleh berlari seperti itu.” Kata dokter sekolah.
“Apa Luhan...?”
“Apa?”
“Luhan mana?!”
Aku tidak bisa bicara apa-apa. Air mataku mulai mengalir deras.
“Oh, maksudmu Xi Luhan?”
“Ada apa Boram?” terdengar suara dari dalam ruangan kesehatan.
“Boram... Ada apa?” tanya suara itu lagi.
Aku mencari suara itu. Terlihat wajah Luhan dari dalam ruangan, kepalanya di balut perban. Dia menatapku heran.
“Boram...?”
“Luhan!!!”
Perasaan lega muncul di dalam hatiku.


******


“Sudah kubilang... aku gak apa-apa...”
Luhan terus menjelaskan kejadian yang menimpanya, tapi aku tidak bisa berhenti menangis.
“Kepalaku hanya tergores.”
“Tapi...” aku melihat bercak darah yang ada di seragamnya.
“Kenapa? Kepalaku kan terluka, wajar saja berdarah. Jangan berpikiran yang gak-gak.”
Cara Ahyeon dan Seorin memberitahu kejadiannya membuatku begini.
Tiba-tiba Luhan tampak marah.
“Boram bodoh!”
Loh? Kenapa dia jadi marah padaku?
“Jangan pernah berlari-lari seperti itu! Kalau penyakitmu kambuh lagi bagaimana!”
“Habisnya... Aku takut Luhan akan...”
“Akan apa? Mati?”
“Iya...”
“Bodoh! Aku belum mati...” katanya sambil tertawa.
Aku memeluknya.
“Ya! Jangan begitu... bajuku kotor, bisakah melakukan ini saat bajuku bersih?”
“Hahaha gak apa-apa.”
Aku tidak peduli baju seragamku kotor. Detak jantung Luhan terdengar olehku, aku lega Luhan masih hidup. Aku takut Luhan mati. Aku tidak mau kehilangan Luhan.
“Saat mengira Luhan akan meninggal, aku jadi sulit bernapas melebihi saat penyakitku kambuh.”
Luhan terdiam. Dia memegang kedua bahuku.
“Itu yang selalu kupikir.”
Kali ini aku yang tertegun. Aku menatap wajahnya yang serius.
“Saat pertama kali bertemu denganmu, aku selalu memikirkanmu. Waktu kamu hilang saat hiking, aku takut menemukanmu sudah meninggal. Dan...”
Wajah Luhan memerah. Luhan lalu melanjutkan kalimatnya.
“Saat memelukmu, aku berpikir, bagaimana kalau detak jantungmu berhenti dan kamu meninggal.”
Aku diam. Tapi air mataku mengalir deras. Luhan menatapku dengan lembut.
“Mulai sekarang, aku akan melindungimu.”
“Luhan...”
“Hm?”
Aku menghapus air mataku. Sebuah tekad muncul di hatiku.
“Aku akan menjalankan operasi!”
“Ne?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku gak mau Luhan terus menjagaku dan mencemaskanku. Aku juga gak mau menyusahkanmu.”
Luhan memelukku erat-erat. Aku membalas pelukannya.
Jika Luhan di sampingku, aku tidak perlu takut dengan operasi itu!


******


“Baiklan nona keras kepala! Kondisi badanmu membaik, jika menjalankan operasi pasti berhasil.”
Selesai memeriksaku, dokter Kris menepuk-nepuk pundakku sambil tersenyum. Tiga hari lagi aku kembali ke Seoul, untuk menjalankan operasi. Aku datang ke klinik kakaknya Luhan, untuk pemeriksaan terakhir.
Orang tuaku, bibi dan paman, bahkan dokter Kris, kaget saat aku bilang ingin menjalankan operasi. Tapi mereka senang. Dan dokter Kris langsung menghubungkan rumah sakit di Seoul untuk menentukan harinya.
“Boram, Luhan ada di rumah. Mampirlah sebentar.” Kata ibu Luhan, yang juga sedang memeriksakan kesehatannya. Ibu Luhan, ibu dokter Kris juga!
Ibunya terlihat masih muda, makanya aku kaget sekali. Dia tidak tampak seperti ibu yang memiliki dua anak laki-laki, apalagi salah satu anaknya adalah seorang dokter yang berusia 23 tahun.
“Tidak usah, nanti aku mengganggunya.”
“Tidak apa-apa. Jangan malu-malu.”
Beliau mengajakku ke rumahnya, dan menarikku ke lantai dua.
“Ayo, kita beri dia kejutan.” Katanya sambil tersenyum.
Saat pertama kali bertemu, kukira dia belum menikah. Badannya mungil. Dan ibu Luhan suka bercanda.
“Luhan, apa ibu boleh masuk?”
“Aku lagi sibuk ma!”
“Kita ada tamu.”
Ibu Luhan membuka pintu kamar. Luhan yang sedang duduk di meja belajar, langsung berpaling dengan kesal.
“Ibu! Apaan sih?!”
Sontak dia kaget saat melihatku.
“Bo...Boram?”
“Annyeonghaseyo!” sapaku.
Ibu Luhan mendorongku pelan masuk ke kamar Luhan. Kemudian dia menutup pintu dan pergi meninggalkan kami berdua.
“Luhan... Aku...”
“Ke...Kenapa kamu ada di sini?” tanya Luhan gugup.
“Maaf, tadi aku pergi ke klinik kakakmu untuk periksa kesehatanku. Dan aku bertemu ibumu di sana. Lalu dia mengajakku ke sini. Kalau kamu gak mau aku di sini, aku bisa pulang sekarang.”
“Jangan!” Luhan menarik tanganku.
“Di sinilah sebentar.” Wajahnya memerah.
“Tidak apa-apa?”
“Iya, tidak apa-apa.”
Ternyata bukan cuma Luhan saja, aku juga gugup. Aku dan Luhan terdiam sesaat. Aku memperhatikan isi kamar. Mataku terpusat pada meja belajar Luhan yang berserakan buku pelajarannya.
“Luhan, sedang belajar?”
Luhan buru-buru membereskan buku-buku pelajarannya.
“Ternyata Luhan suka belajar juga.”
“Kenapa? Apa ada yang salah kalau aku belajar?”
Wajahnya semakin merah saja.
“Coba kulihat, kamu sedang baja apa!” godaku.
“Tidak usah! Untuk apa?!”
“Mau lihat...!”
Aku bergerak untuk mengambil buku yang terletak di atas meja. Tapi kakiku tersandung kaki kursi.
“Boram!”
Tanpa sengaja, tangan Luhan yang ingin menangkap badanku yang akan jatuh, malah menangkap dan menyentuh dadaku.
“Kyaaaaa!!!” teriakku.
Wajah kami berdua memerah.
“Makanya hati-hati dong!”
“Tangan mu yang harus hati-hati!”
“Memangnya aku suka menyentuh dadamu yang kecil!”
Kami saling berpandangan.
“Se...Sebaiknya aku keluar dari kamar ini!” kataku gugup.
Baru saja akan melangkah, dengan gerakan cepat Luhan membalikan tubuhku dan mendaratkan ciuman di bibirku. Tiba-tiba terdengar teriakan dan benda jatuh dari lantai satu.


******


“Keterlaluan! Kenapa ibu bisa terjatuh?!”
Luhan mengomel sambil memungut buku-buku yang berserakan di lantai. Kami berada di ruang kerja dokter Kris.
“Maaf, ibu mau membersihkan rak buku kakakmu. Jadi terjatuh dari kursi.” Katanya sambil tertawa.
Saat terjatuh dari kursi, ibu Luhan tidak sengaja menyentuh buku-buku. Akibatnya, buku-buku itu ikut terjatuh dan berserakan di lantai.
“Ini...?”
Ibu Luhan membuka sebuah buku tua dengan wajah heran.
“Ibu! Kita harus membereskan buku-buku ini... Kalau kakak tau ruangannya berantakan, dia bisa marah!”
“Luhan, ini kan foto mendiang kakekmu...”
Luhan menghela napas panjang dengan wajah kesal. Tapi ibunya tidak mendengar, malah duduk di lantai dan terus melihat foto itu.
“Kalian, bisa lihat foto ini.”
Kami tertarik juga untuk melihat. Foto itu terlihat seperti foto-foto lama.
“Orang ini seperti Luhan!” kataku saat melihat seorang dokter muda yang berdiri di depan klinik tempat kakaknya bekerja sekarang.
“Tentu saja mirip. Ini kan foto kakeknya Luhan saat masih muda.” Sahut ibu Luhan.
“Aku pulang... Bu!”dokter Kris berteriak memanggil dari ruang depan.
“Ne?” sahut ibu Luhan dengan segera. “Maaf, ibu tinggalkan kalian dulu sebentar.”
“Iya,”
Ibu Luhan meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
“Sekarang harus kita yang membereskan ini semua.” gumam Luhan.
Banyak buku-buku yang yang terjatuh di lantai. Butuh waktu lama kalau hanya kita berdua yang menyusunnya kembali.
“Jangan mengeluh! Ibumu kan tidak sengaja.”
Saat Luhan mengangkat sebuah album foto itu dengan sembarang, selembar foto terjatuh.
“Ah!” teriak Luhan.
“Luhan! Kau membuatku kaget saja!”
Kami mengambil foto itu bersamaan. Tapi foto itu membuat kami terkejut.
“Boram?”
“Luhan? Ini kan...”
Kami bengong dan saling berpandangan. Foto itu sudah lama, warnanya sudah menguning. Foto seorang pemuda yang mirip sekali dengan Luhan, bersama seorang wanita yang mirip sekali denganku. Mereka berdua berfoto di bawah pohon tempat aku pertama kali bertemu dengan Luhan...



To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar