Title:
Absolute boyfriend!
Author: Anita || Twitter: @Anita_Febriany
Genre:
Romance
Length: Oneshoot || Rating: PG-13
Main Cast:
Jiyeon (T-Ara) || Tao (EXO-M)
Support Cast:
Krystal (F(X)) || Kai (EXO-K) || Tiffany (SNSD)
Disclaimer:
“Yang udah pernah nonton drama taiwan yang dimainkan oleh Koo Hye Sun
dan Jiro Wang, pasti gak asing liat judul FF saya ini. Tapi di FF saya
ini, si tokoh pria bukan robot sungguhan seperti di drama. Karena FF ini
di angkat dari novel Jepang yang berjudul ‘Bokutachi no Unmei’.”
Attention! This is JUST fan-fiction.
Ok, Happy reading…
0oOo0
Di
tengah ratusan orang-orang yang menatapku penuh kekaguman, aku berjalan
dengan tenang. Aku tidak peduli pada tatapan mereka. Biarpun aku
terkesan dingin, pandangan orang-orang itu tetap tidak pernah lepas
dariku.
“Jiyeon…”
“Kami senang kamu kembali ke sekolah,”
“Apa syutingmu sudah selesai?”
Suara
ribut anak laki-laki dan perempuan yang berusaha mengajakku bicara.
Tapi aku tidak menanggapi ucapan mereka satupun, dan terus berjalan.
Di
sekolah khusus seni ini sangat ramai. Kirin arts high school, itulah
nama sekolah khusus seni ini. Di sekolah ini diperuntukkan bagi para
remaja yang berminat untuk masuk ke dunia entertainment.
Hari ini, aku kembali setelah kesibukanku dengan pekerjaanku sebagai artis di luar sekolah selama beberapa bulan ini.
“Jiyeong!” terdengar suara laki-laki dari kejauhan memanggilku.
Aku langsung menoleh, “Kai?”
Ia
melambaikan tangannya kepadaku, kemudian melayangkan pandangannya pada
gadis yang ada di sebelahnya, Kai hanya tersenyum manis kepadanya.
“Jiyeon, sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?” tanya gadis yang di sebelah Kai itu .
“Baik,” jawabku singkat.
Perasaan
berdebar kecil muncul lagi saat aku melihat Kai yang berdiri di sebelah
gadis itu. Tetapi perasan itu sudah jauh berkurang dibandingkan dulu.
Semua itu karena gadis yang bersamanya, Krystal. Krystal adalah pacar
Kai, perempuan pertama yang membuatku patah hati. Namun, aku tidak
pernah membenci gadis itu karena aku dengan Kai memang sudah berteman
sejak lama.
“Kenapa baru kembali ke sekolah sekarang? Apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Kai.
“Sebenarnya
aku masih ada pekerjaan, ada beberapa tawaran iklan untukku. Tapi
kepala sekolah memanggilku untuk datang ke sekolah.”
“Kepala sekolah memanggilmu?”
“Iya, sepertinya ada hal penting yang mau ia sampaikan.”
“Baiklah,
kalau begitu kita bertemu lagi nanti.” kata Kai dan Krystal tersenyum
sambil melambaikan tangan padaku, aku pun bergegas pergi meninggalkan
mereka.
******
Sekarang aku sudah tiba di depan pintu ruangan kepala sekolah yang berada di lantai teratas sekolah Kirin arts high school ini.
Aku mempersiapkan diri sebelum membuka pintu tersebut. “Selamat pagi…” kataku sambil membuka pintu itu dengan perlahan.
“Oh? Jiyeon, silahkan masuk…”
Lalu aku berjalan mendekatinya, “Ada apa bapak memanggil saya?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, pak kepala sekolah langsung mengambil kertas yang ada di dalam laci mejanya.
“Silahkan
duduk, aku ada job baru buatmu,” katanya sambil menyerahkan selembaran
kertas itu. Aku langsung duduk dan membaca selembaran kertas yang sudah
berada di tanganku.
“Absolute boyfriend?” gumamku.
Mataku
lalu menelusuri jajaran nama pemain drama ‘Absolute boyfriend’ ini. Aku
sebagai pemain utama wanitanya, sedangkan pemain utama prianya bernama
Huang Zi Tao.
“Huang Zi Tao?” aku menautkan kedua alis. Aneh, aku tidak pernah mendengar namanya sebelumnya.
“Ini adalah drama pertama Tao sebagai pemain utama pria, dia di pilih langsung oleh sutradara.”
Aku hanya mengangguk sekali mendengar ucapan pak kepala sekolah.
“Oh iya, Tao adalah murid di sekolah ini. Karena kamu jarang ke sekolah, jadi pasti kamu belum pernah bertemu dengannya,”
Aku pun langsung menganggukkan kepala lagi.
“Kalau kamu sudah mengerti, kamu bisa kembali ke kelasmu.”
Tanpa
perlu berlama-lama di dalam ruangan kepala sekolah, aku segera bergegas
pergi. Namun, sebelum aku benar-benar membuka pintu di depanku, langkah
kakiku terhenti oleh panggilan pak kepala sekolah. “Jiyeon, aku ada
saran untukmu.”
Aku diam tapi tetap menoleh ke arah pak kepala sekolah, menunggu apa yang mau ia katakan.
Pak
kepala sekolah lalu tersenyum tipis sebelum berkata, “Jangan melihat
seseorang dari penampilannya, dan jangan menilai seseorang dari apa yang
baru saja kamu lihat. Jadi kalau kamu ingin merasa nyaman dengan
seseorang itu, kenalilah dia lebih dekat. Baru bisa kamu menilai
seseorang itu seperti apa.”
Aku
hanya terdiam. Aku tidak mengerti kenapa pak kepala sekolah itu
tiba-tiba berkata seperti itu padaku. Tapi aku tidak berniat bertanya
apapun padanya. Jadi tanpa harus menunggu lebih lama, aku pun memutuskan
untuk segera mungkin keluar dari ruangannya.
0oOo0
Hari
ini, aku berada di gedung studio. Tempat aku akan melakukan syuting
pertama dramaku kali ini. Begitu sampai di studio, sutradara dan para
kru langsung menyambutku dengan penuh semangat.
“Aku senang kamu datang tepat waktu, bagaimana? Sudah siap?” tanya pak sutradara yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana.
“Iya, aku siap,” lalu aku melayangkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. “Pemeran utama prianya belum datang?”
“Maksudmu, Huang Zi Tao? Ia sudah ada di ruang tunggu. Ini pertama kalinya kalian bekerja sama kan?”
Aku mengganggukan kepala, “Aku belum pernah bertemu dengannya.”
“Kalau begitu kalian harus bertemu sekarang, dan berkenalan.”
Setelah mendengar ucapan pak sutradara, aku segera bergegas pergi ke ruang tunggu.
.
.
Sesampainya
di ruang tunggu, aku langsung melihat seorang pria sedang duduk di
salah satu kursi. Aku lalu berjalan menghampirinya, tapi pria itu
sepertinya tidak menyadari kedatanganku dan tetap menundukan kepala,
terlihat serius membaca selembaran kertas yang ada di tanganya.
Setelah
aku duduk di kursi sebelahnya, tiba-tiba pria itu menghentikan ke
sibukannya. Perlahan, ia mengangkat kepalanya dan menatap mataku.
Beberapa detik berlalu, akhirnya pria itu sedikit membungkukan badannya.
“Annyeonghi chumuseotsumnikka? Tao rago hamnida. (Selamat pagi. Nama saya Tao)” ucapnya.
Aku
berusaha menahan diri untuk tidak terkejud mendengarnya. Biarpun usia
kami sama, mungkin baginya berbicara dengan bahasa korea seperti itu
terdengar lebih sopan dan hormat. Tapi kesan pertamaku benar-benar aneh.
Ia terlihat seperti robot yang baru saja dihidupkan. Tidak memiliki
ekspresi wajah… Tatapan matanya kosong… bahkan, saat mengangkat kepala
dan badannya ia terkesan kaku.
Aku
memperhatikan pria ini yang masih memakai seragam Kirin arts high
school, aku langsung mengetahui bahwa Tao bukan berasal dari kelas yang
sama sepertiku Kai dan juga Krystal.
Tapi
tidak bisa dimungkiri, pria ini memiliki wajah yang tampan. Ia juga
mempunyai mata yang berwarna kecoklatan, dan rambut hitam lurus yang
membuatnya makin terlihat tampan.
Tanpa
sadar, aku dari tadi terus memperhatikannya. Namun, pria yang di
depanku ini sama sekali tidak peduli. Bahkan, saat perkenalan yang
sangat singkat itu terjadi, ia kembali sibuk membaca selembaran kertas
sambil menulis sesuatu di atas kertas itu.
“Tao,” ini pertama kalinya aku memanggil namanya.
Pria itu langsung balik menatapku.
“Naneun Jiyeon-ieyo. Bangabseumnida.”
Ia mengangguk sekali.
Suasana
yang sejak tadi hening, sekarang semakin mencekam. Sebab, kami berdua
hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun setelah aku memperkenalkan
diri.
“Jiyeon,” Tao memanggilku.
Aku pun langsung tersentak, “Ne?” tanyaku setelah mengatasi rasa terkejutku.
“Kamu… suka… makan… apa?” tanyanya dengan intonasi lambat.
“Mwo?”
aku terkejut mendengar pertanyaannya. Aku tidak menyangka ia akan
tiba-tiba bertanya seperti itu. Tapi aku tetap akan menjawabnya,
“Ramen.”
“Oh…” Tao hanya menganggukkan kepalanya sekali lalu kembali sibuk membaca dan menulis di kertas-kertasnya itu.
Suasana
kembali hening. Aku hanya bisa menghela napas panjang, karena ini
benar-benar di luar dugaan. Aku harus menjalin hubungan baik dengan
lawan main yang kaku seperti Tao.
“Permisi
nona Jiyeon,” seorang wanita yang merupakan asisten sutradara masuk ke
dalam ruangan dan berjalan menghampiriku, “Ini naskah yang harus kalian
baca,” ia lalu menyerahkan dua kertas naskah kepadaku dan Tao.
Setelah
memberika naskah, asisten sutradara itu langsung keluar dari ruangan.
Sepertinya ia sangat sibuk mengurus berbagai hal lain untuk drama ini.
Ruangan kembali hening. Aku dan Tao sama-sama memandang naskah yang kami terima dalam diam.
Tao
lalu membuka naskah tersebut, lalu dengan gerakan yang sangat lambat, ia
berdiri dan menatapku. “Semoga syuting hari ini lancar,” ucapnya datar.
Aku
menatapnya sekilas, aku baru menyadari pria ini bukan hanya aneh, ia
benar-benar terlihat seperti robot. Saat dia berbicara dan saat ia akan
berdiri saja, ia memerlukan waktu 5 detik.
Belum
sempat aku menjawab ucapannya, “Aku pergi dulu,” serunya. Dengan wajah
kosong, ia langsung berjalan sambil membawa naskahnya.
“Tu… tunggu!” Aku menahan sebelah tangannya, namun buru-buru aku lepaskan lagi. “Maaf.”
“Aku akan kembali,” Tao memandangku sekilas lalu keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi.
Aku
benar-benar di buat bingung sama tingkah lakunya. Akhirnya, aku hanya
bisa menghela napas dan kembali duduk di tempat semula.
Tanpa
sengaja, aku melihat kertas-kertas yang tadi di baca dan di tulis Tao
dengan serius. Aku lantas mengambil dan melihat kertas itu, “Apa-apaan
ini?!” aku tidak bisa menutupi rasa terkejut dan heranku saat melihat
coretan-coretan di kertas ini.
Aku
pikir dia sibuk membaca dan menulis hal yang penting, ternyata pria itu
hanya iseng menggambar di kertas soal matematikanya. Di kertas soalnya
dipenuhi gambar-gambar khas anak TK. Dua gunung, ditengah-tengahnya ada
matahari sedang tersenyum, dan di pinggiran jalan rayanya ada
rumput-rumput berbentuk v.
Aku cuma bisa diam mematung melihat gambarnya.
******
“Baiklah, kita akan tunggu Tao sampai datang,” ujar pak sutradara.
Di luar dugaan, saat salah satu staf mengatakan bahwa Tao tiba-tiba saja pergi, pak sutradara malah menanggapinya santai.
Pak
sutradara yang melihatku dengan ekspresi bingung, sontak menenangkanku,
“Tidak apa-apa, jangan memikirkannya… ia pasti kembali. Kita tunggu
saja…”
“Aku tidak sedang memikirkannya!” sahutku dingin.
Aku
bukan bingung dengan kepergian Tao yang tiba-tiba, tapi aku bingung
dengan sikap pak sutradara yang di kenal galak dan tidak suka kalau
artis-artisnya tidak disiplin waktu, malah besikap santai.
Akhirnya,
setelah menunggu selama satu jam lamanya. Pria yang merupakan bintang
utama dalam drama itu pun muncul. Masih dengan ekspresi yang sama,
kosong dan tanpa ekspresi.
Ia langsung menundukan kepala di depan pak sutradara dan aku, “Mian hamnida (Maafkan saya)” ucapnya pelan.
“Tidak
apa-apa…” kata pak sutradara sambil tersenyum, “Ayo! Syuting kita
mulai!” teriak pak sutdradara untuk memberitau kru dan staf agar memulai
syutingnya.
Aku
cuma mengerutkan kening, tidak bisa mengelakkan rasa kesalku. Aku
merasa, Tao terlalu diperlakukan istimewa oleh pak sutradara.
Lalu
aku berjalan dan sudah bersiap-siap di tengah ruangan. Sementara Tao
menunggu giliran berakting, memilih berdiri di samping tempat duduk pak
sutradara yang sibuk memberi perintah pada para kru.
.
.
“Oke, cut!” suara pak sutradara terdengar puas, “Bagus sekali Jiyeong!”
Aku
tidak merespon pujian pak sutradara itu. Aku lebih memilih untuk melihat
Tao. Perasaan kesal bercampur senang itu pun memenuhi hatiku.
Lima
menit kemudian, terdengar suara asisten sutradara dari pojok ruangan,
“Baiklah, kita akan memulai adegan dimana kamu Jiyeon dan kamu Tao yang
sebagai JB, mengobrol lewat telepon dan memutuskan untuk bertemu,”
setelah mengatakan itu, asisten sutradara langsung mempersilahkan aku
dan Tao untuk berdiri di tengah-tengah ruangan. “Tao, tolong kamu
berdiri membelakangi Jiyeon. Menolehlah saat ia memanggil namamu, dan
tunjukkan perasaan bahagia saat berjumpa dengannya.”
“Ne, algesseumnida. (Ya, mengerti.)” jawabnya.
Aku
yang berperan sebagai Kang Sora memandang punggung Tao. Perasaanku
bercampur aduk. Ini pertama kalinya aku berakting dengannya.
“Action!” terdengar suara teriak pak sutradara sebagai aba-aba di mulainya.
Aku langsung menempelkan ponselku ke telinga, terdengar nada sambung beberapa saat lalu terdengar suara Tao di seberang.
“JB?” Aku memanggilnya.
Tubuh
Tao langsung menegang, karena menyadari bahwa suara itu begitu dekat.
Ia sontak menoleh dengan gerakan cepat. Dan, sebuah senyuman hangat
perlahan-lahan mengembang di bibirnya.
Deg!
Jantungku berdebar-debar. Aku tidak menyangka Tao bisa berakting
seperti itu. Tao yang biasanya memasang wajah tanpa ekspresi dan tatapan
mata yang kosong, semuanya seakan sirna.
******
“Tao,”
panggilku itu langsung membuat pria yang sedang asik mencoret-coret
kertas soal matematikanya menoleh. Lalu ia memandangiku yang sudah
berdiri di hadapannya.
“Aktingmu
bagus,” aku tidak menyangka akan mengatakan itu padanya, tapi Tao
langsung menganggukkan kepala sekali dan tidak bicara padaku.
Aku menghela napas lalu duduk di sebelahnya.
“Aktingmu
juga bagus,” akhirnya Tao membuka suara. Tapi biarpun Tao jelas-jelas
memujiku, ekspresinya dan nada ia bicara sama sekali tidak menunjukan
itu. Mungkin kalau orang lain yang mendengarnya, malah beranggapan kalau
Tao sedang menyindirnya.
“Gomawo,”
Setelah
mengatakan itu, aku melihat Tao mengembangkan bibir. Meski cuma sesaat,
Tao baru saja tersenyum padaku untuk yang kedua kalinya.
******
Keesokan
paginya, aku datang ke Kirin arts high school. Karena lagi-lagi aku di
panggil pak kepala sekolah. Tapi aku menyempatkan diri untuk menemui Kai
dan Krystal terlebih dahulu.
“Jiyeong! Aku dengar kamu di pasangkan oleh Huang Zi Tao ya di drama terbarumu, benar?” tanya Kai begitu kami bertemu.
Krystal kontan menimpali, “Pasti akan menjadi drama yang sukses!”
Aku menaikan sebelah alisku. Aku sedikit terkejut karena Kai dan Krystal mengenal pria yang bernama Huang Zi Tao itu.
“Kalian berdua mengenalnya?’ tanyaku.
“Tentu saja!” jawab Kai dan Krystal kompak sambil mengangguk.
“Kurasa semua orang di sekolah ini mengenalnya,” tukas Krystal lugas.
Kai sontak tersenyum lebar, “Karena ia pria yang mencolok bukan?”
Aku cuma mendengus pelan, meragukan semua ucapan mereka.
“Bukankah pria itu aneh?”
Kai dan Krystal berpandangan sekilas, lalu keduanya tersenyum penuh arti.
“Tao itu pria yang baik,”
“Mwo?”
aku sontak melihat Krystal dengan pandangan yang seolah-olah mengangap
gadis ini sama aneh dengan Tao. Tapi, entah kenapa kata-kata Krystal itu
langsung membuatku tertegun.
“Tao!”
suara ceria Kai membuatku menoleh ke arah yang ia tuju. Aku sama sekali
tidak bisa menunjukkan reaksi apapun selain heran. Tao, pria yang
kebetulan lagi kami bicarakan sedang berjalan di koridor. Ia berjalan
dengan lamban, tatapan matanya kosong, dan wajahnya yang tanpa ekspresi.
Tao berhenti tepat di depan kami bertiga, “Annyeonghaseyo…” sapa Tao.
Kai tertawa lebar sambil melihat lolipop pria itu, “Hahaha kamu seperti anak kecil Tao,”
“Ini manis,” jawabnya singkat.
“Kalau
begitu, aku permisi…” Tao tiba-tiba membungkukan badannya, terlihat
bahwa ia tidak berniat untuk berlama-lama mengobrol dengan kami. Lalu ia
bergegas pergi meninggalkan kami.
Aku
yang sejak tadi cuma diam, langsung mengerutkan kening saat
memperhatikan gerakan Tao. Aku baru menyadari, meski cara bicaranya
seperti robot tapi saat berjalan Tao seperti seorang model yang sedang
berjalan di atas catwalk.
“Annyeong!” ujar Kai dan Krystal. Aku hanya bisa melihat punggung Tao yang sudah berjalan menjauhi kami.
0oOo0
Sudah
lebih dari sebulan aku bertemu Tao di lokasi syuting hampir setiap
hari. Dan selama itu pula, aku belum bisa memahami Tao. Setiap hari, ada
saja hal yang membuat orang-orang di sekitar Tao memandangnya penuh
tanda tanya. Ia pernah datang ke lokasi syuting dengan baju yang kotor
terkena tanah, rambut yang berantakan, dan sebagainya. Tapi tiap kali di
tanya alasan keterlambatannya, Tao selalu menjawab dengan alasan yang
tidak masuk akal. Dengan memasang wajah datar seperti sebuah robot, pria
itu bisa saja menjelaskan bahwa ia baru saja bertempur dengan Ultraman,
atau di ajak main oleh alien saat akan pergi ke lokasi syuting. Karena
sudah terbiasa, kru di lokasi syuting pun mulai memaklumi tingkah laku
aneh Tao dan menjadikannya sebagai hiburan.
Tapi
sikap memaklumi seperti itu tidak berlaku bagiku. Aku justru bingung
bagaimana cara menghadapi Tao yang selalu membuatku tidak habis pikir.
Hari
ini, untuk kesekian kalinya aku menghela napas. Seperti biasa, Tao
terlambat datang ke studio. Kurang lebih satu jam. Tapi pak sutradara
tetap tidak marah, malah justru tertawa begitu mendengar alasan Tao
terlambat. Tanpa ekspresi dan tidak lupa permen lolipop di tangannya,
Tao berkata bahwa ia baru saja bertemu gadis-gadis seksi menggunakan
bikini dan mengajaknya pergi ke taman bermain.
“Mana ada yang percaya pada omongannya itu!” aku mengeluh dalam hati.
******
Masih
ada waktu tiga puluh menit untuk beristirahat sebelum syuting kembali
di mulai. Aku berjalan seorang diri menuju kamar mandi wanita. Tapi
langkah kakiku langsung terhenti di depan pintu. Aku mendengar suara
ribut di ruang sebelah, tepatnya dari kamar mandi pria. Aku langsung
kaget saat melihat sosok Tiffany di sana.
“Aku
sangat menyukaimu! Apa kamu tidak merasakan itu, hah!” Tiffany
membentak Tao sangat keras. Sepertinya ia sangat sakit hati dengan Tao.
“Bicaralah! Jangan diam saja!” bentaknya lagi sambil memukul dada bidang Tao. Tapi Tao hanya diam menatap Tiffany.
Dan,
Byuuurrr!
Terdengar suara guyuran air. Aku yang masih berada di luar pintu pun tidak bisa menutupi rasa kagetku.
”Ya!
Apa kau sudah gila?!” Tiffany yang basah kuyup langsung menatap Tao, ia
marah karena Tao baru saja menyiramnya dengan seember air di tangannya.
“Aku hanya ingin memadamkan api,” tukas Tao tanpa rasa bersalah.
Tiffany
langsung naik pita, ia mengempalkan tangan untuk memukul Tao, “Kau!”
baru saja Tiffany akan melayangkan tinjuannya ke wajah tao, tapi Tao
tiba-tiba mengambil satu ember air yang ada di sampingnya.
Byuuurrr!
Mata
Tiffany pun terbelalak lebar-lebar. Karena Tao baru saja menyiram
seember air kepada dirinya sendiri. Bahkan ia terlihat jauh lebih basah
kuyup dibandingkan Tiffany.
“A…apa
yang kau lakukan?!” Tiffany tergagap. Ia tidak bisa menutupi perasaan
ngeri saat memandang Tao yang terlihat seperti robot kehujannan.
“Aku
sudah memadamkan api pada dirimu, jadi aku juga harus memadamkan api
dalam diriku,” Tao lalu meletakan ember kosong itu, kemudian menatap
wajah bingung Tiffany yang berdiri di depannya tanpa ekspresi.
Apa yang di maksud dengan “memadamkan api dalam diriku”? Apa dia mau menghilangkan rasa kesal dan marahnya terhadap Tiffany?
“Kau sudah gila! Aku tidak mau berhubungan dengan cowok aneh seperti dirimu!” ucap Tiffany.
Tak
butuh waktu lama, ia langsung keluar dari kamar mandi pria. Setelah
mendengar ucapan Tiffany itu, Tao menundukan kepalanya menutupi
wajahnya.
Apa dia bersedih?
Aku
yang sedari awal melihat hampir seluruh kejadian tersebut masih tak bisa
melepas pandanganku. Dari kejauhan, aku melihat Tao tersenyum. Jadi dia tidak menangis? Senyumannya itu bahkan jauh lebih manis ketimbang saat berakting.
Tanpa perlu menunggu lebih lama, aku segera memutuskan kembali ke studio dan mengurungkan niat awalku untuk ke kamar mandi.
“Jiyeon!” suara di belakangku langsung membuatku tersentak, “Pak sutradara?”
“Mengapa kau berdiri di sini?” tanya pak sutradara dengan ekspresi heran, “Ada sesuatu yang terjadi?”
“Pak sutradara tidak merasa ada aneh dengan Huang Zi Tao? Pria itu selalu melakukan hal yang tidak masuk akal,”
“Hahahaha,” bukannya menjawab, pak sutradara malah tertawa sangat keras.
“Tidak ku sangka, gadis yang di kenal sombong dan dingin seperti mu ternyata suka memperhatikan Tao,”
“Bu..bukan begitu kok!”
“Jangan
gugup begitu…” pak sutradara mencoba menenangkanku, sambil menahan tawa
karena reaksiku atas ucapannya, “Huwahahaha… Tao? Apa yang terjadi?”
tiba-tiba pak sutradara syok, dan beliau melayangkan pandangannya pada
orang yang berdiri di belakangku. “Kenapa kamu basah kutup begitu?”
tanyanya.
Aku tidak ikut berkomentar, aku hanya diam memperhatikan pria yang sekarang sudah berdiri tepat di sampingku.
“Saat
perjalanan menuju ke sini, ada panda imut di tengah jalan. Lalu panda
itu mengajakku bermain air, dan membuat bajuku basah semua,”
“Panda di tengah jalan? Hahaha kapan-kapan kamu harus mengajakku, aku ingin bermain dengan panda,”
“Tidak bisa,” Tao serius menolak permintaan pak sutradara, “Karena panda itu suka dengan pria tampan sepertiku,”
“Hahahaha,” pak sutadara kembali tertawa.
Aku
heran, Tao jelas-jelas memasang wajah serius. Tapi pak sutradara malah
tertawa mendengar jawaban Tao yang tidak masuk akal, dan mengangapnya
lelucon.
“Baiklah, sekarang kamu ganti baju dulu ya…” lanjut pak sutradara.
Aku
yang jelas tau penyebab insiden di kamar mandi tadi, sungguh tak bisa
berkata-kata. Mendengar alasan Tao barusan, aku merasa sangat kesal.
******
“Cepat ganti bajumu!” itu kalimat pertamaku setelah sampai di depan ruang ganti.
Tao pun mengangguk.
BRAAKK!
Pria itu kemudian menutup pintu ruangan dari dalam dengan kasar.
“Hah!”
aku mendengus pelan seraya bersandar pada tembok di belakangku. Aku
benar-benar bingung dengan sikapku sendiri, kenapa aku selalu memikirkan
tindakannya? Belum lagi, pakai acara mengantarnya ganti baju pula!
Setelah menunggu beberapa menit, Tao akhirnya keluar dari ruang ganti.
“Gomapseumnida,” ucapnya begitu melihatku yang masih berdiri menunggunya.
Aku
tidak menanggapinya, aku melayangkan pandangan pada rambut Tao yang
masih basah. “Di dalam tidak ada handuk? Nanti kamu masuk angin,”
Tao hanya menggeleng kepala.
“Ikut aku!” perintahku pada Tao.
.
.
Begitu
sampai di ruang tunggu, aku langsung menyuruh Tao untuk duduk di salah
satu kursi. Dengan sigap, aku mengambil handuk yang ada di dalam tasku.
“Ini!” aku berdiri di depan tempat duduk Tao, dan menyerahkannya handuk itu.
“Gomapseumnida,”
Kami pun terdiam.
Tao
yang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk, tiba-tiba saja aku
teringat sesuatu. “Kenapa kamu tadi tidak memberitahu alasan yang
sebenarnya pada pak sutradara?” tanyaku.
Tao sedikit mendongakkan kepala, “Masalah apa?”
“Jangan bohong!” jawabku ketus.
Tao menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata dengan ekspresi kosong, “Kamu… mengintip kamar mandi laki-laki?”
Deg! Jantungku berdetak kencang. Mendengar pertanyaan Tao, membuatku malu. Mungkin sekarang wajahku sudah semerah tomat.
“A…apa maksudmu? Aku gak sengaja liat kok!”
“Kenapa
semua orang selalu ikut campur urusanku?” Tao menatapku tanpa ekspresi,
“Aku melakukan sesuatu karena aku ingin melakukannya,” lanjutnya.
Aku
sontak membatu. Meski pria itu menunjukan wajah hampanya yang biasa,
tapi aku bisa merasakan ekspresi sedih yang berusaha Tao tutupi, “Maaf.”
Sepontan saja kata-kata itu keluar dari mulutku.
Lalu
aku melayangkan pandanganku ke sekeliling, mencari-cari sesuatu.
Tatapanku kemudian tertuju pada sebuah tas hitam besar yang berada di
sofa. Tanpa permisi, aku berjalan dan membuka-buka tas itu.
“Apa
yang kamu lakukan? Itu tas ku…” Tao yang baru sadar, langsung beranjak
dan menghampiriku. Meski wajahnya terlihat biasa saja, tanpa ekspresi
terkejut dan sebagainya. Tapi terdengar dari nada ia bicara, kalau ia
bingung.
Aku
tidak memperdulikannya, dan tetap mencari-cari sesuatu di dalam tas Tao.
Sampai akhirnya, aku tersenyum tipis begitu memegang sebuah ponsel.
“Ponselku…”
Belum
sempat Tao menyelesaikan perkataannya, langsung saja aku menekan-nekan
tombol nomer yang ada di ponsel. Tak lama, terdengar suara nada dering
dari ponselku. Aku sontak tersenyum puas melihat ponselku.
“Aku sudah menyimpan nomermu di ponselku,” kataku sambil berjalan menghampirinya, dan terus menatapnya.
“Kalau
ada sesuatu, hubungi aku! Dan jangan buat alasan yang tidak masuk akal
lagi,” lanjutku. Tao hanya diam menatapku, tidak menjawab semua
perkataanku.
“Jangan
buat aku selalu memikirkan tingkah anehmu itu. Jadi terbukalah padaku,”
itu kata-kata terakhirku pada Tao. Lalu aku berjalan meninggalkannya.
Saat aku akan membuka pintu ruang tunggu ini, tiba-tiba saja ada seseorang yang memelukku dari belakang. “Tao?”
“Jangan menyusahkanku,”
Aku
tersenyum tipis mendengar ucapannya. Aku lalu melepas pelukan Tao, dan
menatapnya. “Maksudmu, kamu tidak mau menyusahkan ku?”
Dia hanya diam menatapku, aku pun tertawa melihatnya.
“Kenapa tertawa?” tanyanya.
Aku tidak tau apa yang lucu darinya, tapi melihat wajahnya ada perasaan bahagia.
Tao bukan lah seorang robot, ia pria yang baik!
Aku
pun memeluknya, “Kamu harus ada terus disisi ku, biarpun syuting drama
ini selesai. Aku akan terus menghampirimu di sekolah. Kedengarannya
memang egois, tapi robot manusia sepertimu harus di jaga oleh gadis kuat
seperti ku,”
“Ne?”
Aku
melepas pelukkanku, dan tertawa melihat ekspresinya. Akhirnya aku bisa
membuatnya mengeluarkan ekspresi yang belum pernah ia perlihatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar