Author: Anita
Genre: Romance
Length: Chapter
Main Cast:
-
Jeon Boram (T-Ara)
-
Xi Luhan (EXO-M)
Rating: PG-17
Attention! Sorry if in
chapter 1 and chapter 2 there is typo.
This is my fanfiction chapter 3. Happy reading... :)
******
“Jadi, Xi Luman itu adalah adik kakekku?” gumam Luhan.
Kedua orang yang ada di foto itu adalah pemilik
pahatan nama yang kami temukan di pohon.
“Nama adik kakekku lucu juga.”
“Luhan...” potongku tanpa memperhatikan Luhan yang sedang
merasa senang dengan nama adik kakeknya itu.
Aku berpikir sendiri tanpa memedulikan Luhan.
Sejak melihat foto itu, jantungku jadi berdebar-debar. Apa Luhan berpikir kalau
kejadian ini bukan suatu kebetulan? Bagiku, ini bukan suatu kebetulan. Kenapa
kedua orang itu mirip sekali denganku dengan Luhan?
“Benar kan!”
Suara Luhan menyadarkan lamunanku. Luhan
menemukan album foto, matanya
berbinar-binar menatap album itu.
“Boram, mungkin ada orang yang tau tentang
foto ini.”
“Apa maksudmu?”
“Orang ini...!”
Luhan menunjuk sebuah foto di album itu.
“Yang mana?” tanyaku.
Aku menatap foto yang Luhan tunjuk. Itu foto
adik kakeknya Luhan bersama teman-temannya. Ada seorang gadis kecil di dalam
foto itu. Ada tulisan di bawah foto itu “Teman masa kecil Ums”
“Eh? Jangan-jangan ...”
“Yes!” Luhan menatapku wajahku.
“Menurutmu cewek yang bernama Ums ini mirip
siapa?”
“Siapa...?”
Kalau dilihat, cewek ini mirip sekali
seseorang yang kukenal. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi
dimana...
“Gak paham juga? Sekarang, lihat ini!”
Luhan mengeluarkan sebuah buku yang berisi
nama dan alamat para guru sekolah kami. Di halaman paling depan, tertulis
sebuah nama ‘Kepala Sekolah Jung Ums’ . Ah! Pantas saja, wajah gadis kecil yang
ada di foto itu tidak asing bagiku. Jadi, dia ibu kepala sekolah?
“Aku jadi teringat, saat pertama kali bertemu
dengan beliau. Beliau tampak terkejut saat melihatku.”
Kami terdiam untuk sesaat.
“Ayo, kita pergi!” ajak Luhan sambil
menggandengku.
“Mau kemana?”
“Bodoh! Menurutmu kita mau ke mana?”
Luhan mengepit album foto itu.
Luhan mengajakku ke rumah ibu kepala sekolah.
Ibu kepala sekolah pasti tau semuanya. Dia
pasti bisa membantu untuk menyelesaikan semua peristiwa aneh ini. Aku ingin
tau, apa hubungannya peristiwa ini dengan Luhan dan aku. Kenapa foto kedua
orang itu mirip sekali dengan kami berdua?
******
Perjalanan menuju rumah ibu kepala sekolah,
memakan waktu 30 menit dengan naik bis. Kedatangan kami yang mendadak, cukup
membuatnya kaget. Tapi dia tetap menyambut kami dengan senyum khasnya.
“Tolong lihat ini,” kata Luhan seraya
meletakan beberapa foto di atas meja tamu.
Untuk sesaat, ibu kepala sekolah terpaku
memandangi foto-foto itu. Kemudian dia mengangkat wajahnya.
“Foto ini, saya yang memotretnya.” Katanya
sambil tersenyum lembut kepada kami, kemudian dia melanjutkan.
“Foto ini di ambil beberapa hari sebelum Bo
Young meninggal.”
“Meninggal? Dia kan masih muda?” tanya Luhan
tidak sabar.
“Dia meninggal karena terkena radang
paru-paru.” Jawabnya.
Ibu kepala sekolah menghela napas.
“Itu sudah lama sekali. Saat itu, kami masih
sangat muda. Waktu kecil, rumahku dekat dengan klinik kakakmu. Orang tua
kakek Luhan sangat baik. Dia membesarkan
kakek mu dan adik kakekmu dengan baik. Saya cukup dekat dengan mereka. Terutama
dengan Luman.”
Tiba-tiba kepala sekolah tersenyum
tersipu-sipu.
“Saya pernah berkhayal, kalau saya sudah besar
nanti, saya akan menikah dengan Luman.”
Wajahnya berubah menjadi sedih.
“Tapi, kemudian Bo Young datang ke kota ini
untuk memulihkan penyakit radang paru-parunya.” Lanjut kepala sekolah sambil
menyentuh foto itu.
Aku dan Luhan terus mendengar cerita ibu
kepala sekolah., dia menceritakan semuanya yang tersimpan dalam hatinya selama
ini.
******
Aku dan Luhan berjalan menuju rumah paman.
Kami baru saja dari rumah ibu kepala sekolah. Sepanjang perjalanan, kami berdua
diam. Dalam diam, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tadi, ibu kepala sekolah bercerita tentang
peristiwa masa lalunya. Peristiwa itu seperti terhubung dengan kami berdua.
“Kalian tau, sekolah kita bekas klinik?” tanya
kepala sekolah.
Aku dan Luhan menggeleng.
“Bo Young adalah salah satu pasiennya.”
Saat itu, kakek Luhan berkerja sebagai dokter
di klinik itu. Saat itu, usianya baru dua puluh tahun. Adiknya, Luman. Sering
datang untuk membantu kakaknya. Di sanalah, Luman bertemu Bo Young. Mereka
saling jatuh cinta.
Namun, keadaan Bo Young memburuk. Menjelang
kematiannya, mereka berdua sempat membuat foto kenang-kenangan di bawah pohon
tempat Luhan dan aku menemukan pahatan nama mereka.
Kepala sekolah bercerita seperti sedang
kembali ke masa lalu. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Mereka memahat nama mereka berdua di pohon
itu. Mereka bilang, walau kematian akan memisahkan mereka, mereka pasti akan
bertemu di tempat yang sama. Mungkin dalam bentuk yang berbeda.”
Dua tahun kemudian, Luman meninggal. Ibu
kepala sekolah tidak tau tentang kematian Luman.
“Saya kaget saat melihat wajah Luhan pertama
kali karena dia mirip sekali dengan Luman. Begitu juga saat aku melihat Boram.
Ini kebetulan yang aneh. Luhan memang ada hubungan darah dengan Luman,
sedangkan Boram? Tidak ada hubungan darah dengan Bo Young.”
ucapannya berhenti di situ. Lalu dia
memandangi wajahku lekat-lekat. “Mungkin
ucapanku ngawur. Tapi bagiku, Luman dan Bo Young seolah lahir kembali dalam
diri kalian berdua.”
“Boram? Ya! Nam Boram!”
“Ah, Ne?”
Panggilan Luhan menyadarkan lamunanku.
Ternyata kami sudah sampai di depan rumah paman.
“Kenapa suka sekali melamun? Ada apa?”
“Ah, gak...”
Luhan berpikir sejenak sambil menatapku.
“Jangan dipikirkan lagi, peristiwa sudah di
pecahkan.” Katanya setengah bercanda.
“Iya...”
“Jangan memasang wajah seperti itu...! tambah
jelek tau!” katanya sambil mengacak-acak rambutku. “Sebentar lagi kamu akan di
operasi, jangan mikirin yang gak-gak. Pikirkan saja kesehatan mu...!”
“Iya...”
Mendengar kata operasi, seperti ada pisau yang
merobek dadaku. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum di depan Luhan.
Luhan mencium bibirku. “Tidur yang enak ya...?
Annyeong!” pamitnya.
“Ne, Annyeong!”
Aku melambaikan tangan padanya. Tapi, ada rasa
gelisah di dalam hatiku sejak mendengar cerita ibu kepala sekolah tadi.
Memang semuanya sudah di pecahkan, mulai
perasaan yang kurasakan saat pertama kali bertemu Luhan sampai perasaan deja vu yang kurasakan saat ini. Aku
percaya, pasangan kekasih yang hidup di masa lalu kembali dalam diriku dan
Luhan. Mungkin ini sudah takdir kami berdua. Tapi, kenapa ada rasa gelisah yang
timbul dalam hatiku?
“Aku pulang...”
Tidak ada jawaban dari bibi maupun paman. Aku
melihat sepasang sepatu. Apa ada tamu? Aku mengintip dari celah pintu. Ternyata
ibu dan ayah! Saat aku hendak membuka pintu, aku mendengar percakapan mereka.
Terdengar suara mama yang mengejutkanku.
“Tapi, presentase keberhasilan operasi itu
sangat kecil.”
Jantungku berdetak kencang.
Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi! Aku
pergi meninggalkan rumah paman. Matahari sudah terbenam. Apakah nasib aku dan
Luhan akan sama dengan Bo Young dan Luman?
Aku terus berjalan, tanpa sadar aku sudah
sampai rumah Luhan. Kulihat kamar Luhan menyala.
Kuambil kerikil kecil dan kulempar ke jendela
kamarnya. Tak lama, wajah Luhan muncul di jendela.
“Boram?”
Luhan kaget melihatku. Dia bergegas
menghampiriku.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa ke sini
malam-malam begini?!” bentaknya cemas.
“Luhan...” aku langsung memeluknya.
“Boram?”
Suara Luhan terdengar tegang.
“Kenapa menangis?”
“Gak mungkin...”
“Apanya yang gak mungkin?”
“Operasi itu...”
Luhan menatapku.
“Operasi itu gak mungkin... Aku akan mati!”
“Apa maksudmu?”
“Aku akan mati!” air mataku mengalir deras.
Aku akan mati seperti Bo Young. Takdir itu
akan terulang kembali.
Luhan terdiam sesaat. “Aku mengerti!” katanya.
“Tunggu di sini sebentar.”
Dia masuk ke dalam rumah, tak lama dia kembali
dengan membawa botol obat.
“Luhan? Ini untuk apa?”
“Obat nyamuk.”
“Obat nyamuk?”
Dia mengangguk pelan.
“Aku akan mati bersamamu,” katanya sambil
menatapku.
******
“Aku akan minum obat nyamuk ini.” Kata Luhan
ringan.
Dia membuka tutup botol yang di bawanya. Aku
hanya bisa melihatnya.
“Kalau memang takdir kita sama seperti Luman dan
Bo Young, untuk apa aku menunggu dua tahun? Lebih baik aku mati sekarang.”
Tanpa ada rasa ragu, dia mencoba membuka tutup
botol obat nyamuk itu.
“Luhan...”
Aku tidak mau berpisah dengannya.
“Hentikan!” teriakku.
Aku mengambil dan membuang botol itu. Lalu aku
memukul tangannya.
“Boram?”
Luhan menatapku bingung sambil memegang
tangannya yang kupukul.
“Luhan jangan mati!” teriakku.
“Boram, ada apa?”
“Luhan jangan mati! Kalau aku mati, Luhan
harus tetap hidup!”
Aku mulai menagis lagi. Aku tidak bisa membayangkan
kalau Luhan mati.
“Kamu juga, jangan mati. Ne?” katanya sambil
tersenyum lembut padaku.
Aku melihatnya.
“Kita berdua gak boleh mati. Kalau Luman dan
Bo Young hidup lagi dalam diri kita, maka pertemuan kita adalah bagian dari
takdir yang akan menyatukan mereka.” Kata Luhan yakin.
“Kita... Kita hidup dan di pertemukan untuk
mengulang lagi takdir mereka yang belum ke sampaian.” Kata Luhan tenang.
“Luhan...”
“Mereka hidup lagi dalam diri kita, supaya
bisa hidup bahagia selama-lamanya.”
Tiba-tiba aku merasakan perasaan aneh seperti
dulu lagi.
******
Tibalah hari dimana aku harus kembali ke
Seoul. Hanya Luhan yang mengantarku ke
terminal. Bibi, paman, dan teman-teman sekelas tidak mengantarku karena mereka
membiarkan aku dan Luhan menikmati kebersamaan sebelum berpisah.
Terdengar suara teriakan kernet supaya
penumpang segera naik bis. Aku menatap Luhan melalui jendela bis.
“Sayonara!*”
(*bahasa jepang: selamat tinggal)
“Sayonara? Hahaha Boram! Aku gak suka
menelepon atau menulis surat. Jadi, begitu selesai operasi kamu langsung
kembali ya?” teriaknya dari luar jendela bis.
“Iya...”
“Janji ya...!”
Kami berdua sudah memahat nama kami berdua di
pohon itu sebagai janji kami akan bertemu lagi dalam takdir yang bahagia.
“Boram!” Luhan berteriak di jendela bis yang mulai bergerak. “Aku mau jadi dokter!
Bukan jadi pemain sepak bola maupun menjadi boyband...!”
Ucapan Luhan membuatku ingin tertawa, tapi aku
senang dengan keinginannya menjadi dokter. Luhan mengejar bis yang bergerak
meninggalkan terminal sambil berteriak.
“Aku mau jadi dokter, kalau jadi dokter aku
bisa mengoperasi bekas luka akibat operasimu!”
Aku bahagia mendengarnya.
“Makanya, jalani operasimu dengan tenang
ya...!” teriaknya lagi.
“Luhan...”
Bis bergerak cepat, wajah Luhan menghilang
dari pandangan. Air mataku mengalir saat bis meninggalkan kota ini.
Aku akan tetap hidup, dan bertemu Luhan
lagi...
******
Dua
tahun kemudian...
“Oper! Oper!”
“Ayo bertahan...!”
Terdengar teriakan anggota klub sepak bola
yang sedang berlatih. Jantungku berdebar kencang. Aku berjalan menuju lapangan
sekolah.
Aku berdiri di bawah pohon sambil memandang
sosok dokter muda yang sedang menonton anggota klub sepak bola. Aku memanggil
orang yang ku rindukan itu.
“Luhan...!”
Dia berpaling ke arahku. Dia tampak terkejut.
Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum.
“Luhan...!”
Aku berlari ke arah Luhan. Sekarang Luhan
sudah menjadi dokter di usianya yang baru saja dua puluh tahun. Dia menjadi dokter
di sekolah ini, menggantikan dokter sekolah yang berhenti karena akan menikah.
Luhan mengajakku masuk ke dalam ruangannya.
“Tidak ada yang berubah,” kataku sambil
melihat-lihat seisi ruangan kesehatan.
“Boram...”
“Hm?”
Tiba-tiba aku tersentak saat Luhan menarik
tanganku, melumuti bibirku.
“Bogoshipo*” bisiknya di telingaku.
(*aku merindukanmu)
“Luhan... mmmmmhh,” Luhan menarik pinggangku
sampai tubuhku menempel ke tubuhnya.
Luhan terus menciumku, ciumannya tidak bisa
kulepaskan. Aku tidak pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya.
“Luh...mmmmmhhh,” aku mencoba melepaskan
ciumannya tapi ciuman Luhan semakin kuat.
Percuma saja aku mencoba melepasnya!
Aku mulai membalas ciumannya. Kulingkarkan
lenganku ke lehernya. Meremas pelan rambutnya.
Luhan semakin menekan ciumannya, lidahnya
menerobos masuk ke dalam bibirku dan menjilati lidahku. Dan tangannya
mengelus-elus dadaku lembut.
Tiba-tiba tangannya mencoba melepas kaos yang
kukenakan.
“Luhan!”
teriakku membuatnya terkejut, dan membuat Luhan menghentikan ciumannya.
Aku buru-buru membenarkan kaosku.
“Mian, aku hanya ingin melihat luka bekas
operasimu...”
Pandangan tidak lepas dari dadaku.
“Apa luka bekas operasi itu...”
Luhan belum menyelesaikan pertanyaannya, tapi
aku memotongnya.
“Luhan, kenapa kamu tidak bekerja di klinik
dokter Kris?” tanyaku.
“Boram...”
“Aku rindu dokter Kris, bisakah kamu
mengantarku ke klinik dokter Kris?”
Luhan menatapku dengan cemas. Aku buru-buru
tersenyum.
“Ada apa? Ayo!” kataku sambil menarik
tangannya keluar ruangan.
Dia menghentikan langkahnya.
“Saranghae*”
(*aku mencintaimu)
Luhan memelukku, lalu aku membalas pelukannya.
Ada suara yang berbisik di telingaku memberitau kisah cinta kami pasti akan
abadi.
The
End...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar