
Author: Anita
Genre: Romance
Length: Chapter
Main Cast:
-
Jeon Boram (T-Ara)
-
Xi Luhan (EXO-M)
Attention! This continuation
of chapter 1. Please comment. Happy reading... :)
******
Tanpa kusadari, aku sudah tiga kali melewati
pohon besar itu. Saat itulah aku baru
sadar kalau aku tersesat. Aku lelah dan kehabisan napas. Pohon-pohon yang di
sekitarku tumbuh rapat, sehingga jadi agak gelap.
Kakiku yang penuh tanah terasa sakit. Dan
detak jantungku semakin cepat. Aku tidak mau mati di sini! Aku duduk di bawah
pohon dengan perasaan gelisah dan takut.
Jika aku belum kembali ke sekolah, guru-guru
pasti akan mencariku. Sebaiknya aku harus tetap menunggu di sini. Aku bernapas
perlahan, tapi detak jantungku semakin cepat. Kutekuk lututku di dada,
seolah-olah ingin menahan detak jantungku. Apa aku akan mati? Keringat dingin
mengalir di sekujur tubuhku, dan detak jantungku semakin cepat.
Entah sudah berapa lama aku duduk di sini.
Tiba-tiba hujan turun. Suasana di sekitar mulai menggelap.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda seseorang
mencariku. Badanku mulai terasa seperti membeku dan jantungku semakin terasa
sakit. Ini salah satu gejala jika penyakitku kambuh.
Detak jantungku semakin cepat, kucoba untuk
bernapas sekuat tenaga. Aku tidak mau mati seperti ini! Dan aku tidak mau mati
di tempat ini! Akhir-akhir ini aku sering memikirkan tentang kematian. Aku
takut.
Badanku terasa kaku, sulit untuk digerakan.
Aku mulai sulit bernapas. tolong aku...! Pa... Ma... Bibi... Paman... Tolong aku...!
Luhan...!
“Boram...! Nam Boram!”
Aku terkejut. Ada suara yang memanggilku.
“Boram!”
Mungkin hanya khayalanku.
“Boram!”
Luhan memanggilku dalam gelap. Aku yakin itu
suara Luhan.
******
“Boram!”
Terdengar suara yang tidak asing lagi.
“Lu...Luhan?”
“Kamu masih sadar?”
“Luhan...”
“Syukurlah!”
Saat kubuka mataku, terlihat wajah cemas
Luhan. Kupikir suara yang kudengar tadi hanya khayalanku saja.
Kepalaku terasa bergoyang dan semuanya jadi
gelap.
“Dasar anak bodoh!
Bertahanlah!”
Saat sadar, badanku
sudah diselimuti jaket Luhan. Satu kancing seragamku terbuka.
“Mi...mianhae*”
kata Luhan tergagap.
(*maaf)
Aku tau apa yang dia
lakukan tadi.
“Aku pernah melihat
kakakku menangani pasiennya yang terkena serangan jantung. Biasanya dia
mengurut dada pasiennya. Maaf, cuma itu yang terlintas dipikiranku tadi.”
Dia memalingkan
wajahnya dariku. Aku juga jadi malu.
“Gomawoyo*”
ucapku lemah.
(*terima kasih)
Luhan duduk di
sampingku tanpa berkata apa-apa.
“Kamu datang untuk
mencariku?”
“Tentu saja. Mereka
semua langsung mencarimu waktu tau kamu menghilang. Mereka cemas, karena hari
sudah gelap dan hujan juga turun. Sebentar lagi kakakku, bibi dan pamanmu,
beserta tim pencarian akan datang.”
Mereka semua mencari
dan mencemaskanku...
Mataku jadi
berkaca-kaca. Seiring dengan perasaan bahagia yang muncul, tiba-tiba mataku
menggelap. Luhan menompang badanku yang akan rubuh.
“Boram...!” Luhan
menepuk-nepuk pipiku pelan. “Gwaenchana?*”
(*apa kamu baik-baik saja?)
Aku mengangguk
dengan lemah. Aku terlalu lama di tempat
ini, huajn turun sehingga sekujur tubuhku terasa membeku.
“Dingin...”
Mendengar perkataanku,
Luhan berpikir sejenak. Dia mulai membetulkan letak jaketnya yang ada di
tubuhku, lalu dia merengkuh dan memelukku erat-erat.
“Luhan...?”
“Ini cuma sebentar.
Aku takut kamu kena radang paru-paru.”
“Tapi Luhan...”
“Bersabarlah. Aku
gak mungkin bikin api unggun dalam keadaan yang gelap dan meninggalkanmu di
sini. Jadi, tetaplah seperti ini.”
Aku menyandarkan
kepalaku di dadanya. Hangat... Kata itu yang muncul dipikiranku. Kehangatan
tubuhnya terasa olehku.
“Luhan...”
“Ne?”
Aku mencoba menatap
wajahnya.
“Setiap aku
kesusahan, Luhan selalu datang untuk menolongku. Waktu pelajaran olahraga juga
kan?”
“Iya...”
Tatapannya penuh
kehangatan. Aku suka melihat wajahnya yang seperti itu.
“Apa itu kamu
lakukan karena aku adalah pasien dari kakakmu?”
Dia diam.
“Luhan...”
“Sudah, jangan
banyak bicara. Nanti kamu kehabisan napas.”
“Gak apa-apa, lebih
baik bicara daripada diam.”
Napasku memang
sesak, tapi ada banyak yang ingin kubicarakan pada Luhan.
“Aku ingat saat
Luhan menyinggung soal operasi itu,”
“Maaf, waktu itu aku
banyak bicara tanpa berpikir dulu tentang perasaanmu.”
“Gak apa-apa, tapi
kamu benar. Aku memang takut untuk di operasi.”
Baru kali ini aku
mengakui rasa takutku pada orang lain. Air mataku mulai mengalir deras.
“Aku takut
mati Luhan...”
“Tenanglah...” ucap
Luhan sambil mengelus kepala Boram dengan lembut.
“Saat masih tinggal
di Seoul, ada cowok yang aku sukai. Dia teman dari kakakku. Namanya Kai. Tapi
kata kakakku di surat, dia segera akan menikah,”
“Sudah, jangan
bicara lagi!”
Napasku semakin
sesak dan pandanganku menggelap.
“Tapi aku tidak
menangis. Aneh ya? Biasanya, cewek akan menangis jika ditinggalkan seseorang
yang di sukainya. Dan ternyata aku menyadari itu semua, kalau orang yang
kusukai telah melupakanku.”
Mataku semakin
berat, dan air mataku terus mengalir.
“Makanya... Aku...”
Aku takut mati dan dilupakan. Kesadaranku mulai hilang. Tapi terdengar
samar-samar suara Luhan yang memanggilku.
“Boram!”
“Jangan lupakan aku,
ne?”
“Kamu yang jangan
melupakan ku!” bisik Luhan ditelingaku.
Luhan menghapus air
mataku dengan tangannya dan menatap wajahku. Tatapannya benar-benar penuh
kehangatan. Kemudian Luhan mencium bibirku dengan lembut. Saat bibir Luhan
mulai memberikan tekanan pada ciumannya, kekuatan di tubuhku hilang. Aku
lunglai di dada Luhan.
“Boram... Nam Boram...
buka matamu!”
Suara Luhan semakin
menjauh.
“Aku... Aku
menolongmu bukan karena kamu adalah pasien kakakku! Dari awal... Aku... Aku
selalu...”
Selalu apa? Hanya
itu yang terakhir kudengar. Tapi sesaat kesadaranku benar-benar menghilang, ada
perasaan bahagia menyelimuti hatiku.
******
Dua hari kemudian...
Saat tersadar, aku
berada di ruang rawat klinik milik dokter Kris. Sesaat setelah aku pingsan,
kakak Luhan, bibi dan pamanku, dan seluruh tim pencari menemukan kami. Aku
terkena radang paru-paru karena terkena hujan. Menurut dokter Kris, tubuhku
cukup kuat karena aku sudah tinggal beberapa bulan di kota ini.
Begitu papa dan mama
tau tentang kejadian ini, mereka jauh-jauh dari Seoul langsung datang untuk
melihat kondisiku. Begitu aku sadar, papa dan mama memarahiku.
“Jangan
mentang-mentang sudah kuat, terus kamuikut-ikutan hiking!”
“Kamu itu masih
sakit! Cobalah nurut sedikit!”
Aku senang mereka
mencemaskanku. Saat dimarahi, aku tertawa-tawa saja.
Aku harus
beristirahat di klinik selama seminggu. Teman-teman sekelas datang menjenguk.
Kata dokter Kris, saat aku menghilang, mereka semua mencariku. Para guru sudah
menyuruh mereka untuk pulang, karena hari sudah gelap. Tapi mereka tetap
menungguku di sekolah sampai aku ditemukan.
Aku menyesal karena
sudah membuat mereka semua cemas. Saat aku mengucapkan terima kasih, mereka
tersipu malu.
“Gak apa-apa
Boram... sikap kami selama ini sudah cukup menyusahkanmu.” Kata mereka.
Aku jadi menyukai
mereka. Selama ini, aku sukar berteman dengan mereka.
“O iya Boram, saat
kamu menghilang... Luhan loh yang paling cemas di antra kami,” kata Ahyeon.
“Dia memaksakan diri
untuk mencarimu,” kata Seorin.
“Boram...”
“Apa?”
“Maafkan kami ya?
Waktu itu, kami sangan cemburu padamu,” mereka berdua membungkukkan badan.
“Cemburu?”
“Luhan sepertinya
cuma tertarik pada Boram saja...”
Apa maksud mereka?
“Kami sangat
menyukai Luhan. Bahkan hampir setengah anak cewek di kelas kita menyukai Luhan.
Biarpun dia usil, tapi dia baik dan idola di sekolah kita. Di antara semua
cowok di sekolah, cuma dia yang paling cakep.”
Ahyeon dan Seorin
tersipu malu.
“Selama ini, dia
sepertinya tidak berminat melirik cewek” kata Ahyeon.
“Tapi sejak Boram ke sini, Luhan jadi
berubah.” Ujar Seorin.
“Jeongmal?*”
(*benarkah?)
“Iya, benar. Bahkan
dia seperti ingin melindungi Boram.”
“Melindungiku? Padahal
di kelas dia sering menjahiliku dan menggodaku.” Kilahku.
“Kenapa Boram bilang
begitu?!” kata Ahyeon sebal.
“Luhan selalu
melindungimu. Sejak ada Boram, si pembolos itu jadi rajin.”
“Bolos?”
“Iya. Saat piket
juga, Luhan selalu mengerjakan bagian Boram.” Kata Seorin.
Iya sih... saat
piket, Luhan selalu mengerjakan bagianku. Tapi, dia melakukan itu karena
katanya aku ini lambat sekali.
“Sebelumnya kami gak
tau kalau Boram mengidap lemah jantung. Jadi, saat melihat Luhan yang begitu
melindungimu, kami menjadi sebal.”
“Tapi kejadian
kemarin memang kacau,” kata Ahyeon sambil menghela napas panjang.
“Waktu melihat Luhan
panik karena Boram hilang, kami cemburu sekali loh!”
“Ne?”
“Tapi dia hebat!”
Ahyeon dan Seorin
tersenyum penuh arti.
“Saat para guru
menyuruh kita untuk menunggu, Luhan tidak menghiraukannya dan tetap pergi untuk
mencarimu,” kata Ahyeon.
“Saat kalian
ditemukan oleh tim pencari, Luhan terus menggendongmu sampai ke klinik,”
Apa perasaan bahagia
yang meluap saat mendengar perkataan Seorin. Perasaan itu tak tertahankan
sampai membuat mukaku memerah.
“Suasana jadi heboh
loh!” ujar Seorin.
“Tidak ada
seorangpun yang mengganggunya saat menggendongmu sampai klinik,” timpal Ahyeon.
“Tapi...”
“Jangan malu-malu
begitu. Hahaha...” kata Seorin sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Sejak awal kamu
juga suka kan sama Luhan?”
Mereka mulai
menggodaku. Aku jadi teringat kehangatan saat Luhan memelukku dan kelembutan ciuman
Luhan di bibirku.
******
“Luhan... Ayo,
semangat!”
“Maju terus!!!”
Aku dan teman-teman
sekelas sedang bersorak memberi dukungan pada Luhan dan teman-temannya yang
sedang bertanding sepak bola di lapangan sekolah.
Sejak keluar dari
klinik, kondisiku membaik. Akhir-akhir ini, badanku semakin sehat. Mungkin
berkat kota ini, yang bersih dan jauh dari perkotaan yang padat dan kotor
karena polusinya. Selain itu, aku sudah memiliki banyak teman. Di antara
teman-teman sekelasku, Ahyeon dan Seorin yang menjadi teman dekatku.
“Kalian berisik
sekali!” teriak Luhan di tengah lapangan.
Walaupun suka
mengomel, dia selalu mengantarku pulang setelah kegiatan klubnya selesai.
“Orang yang tidak
tau jalan sepertimu mudah sekali tersesat!” gerutunya setiap mengantarku
pulang.
Luhan tidak pernah
memberitauku kelanjutan dari perkataannya sesaat sebelum aku pingsan. Tiap kali
ku tanya, dia selalu menjawab “Mungkin itu Cuma perasaanmu saja” tapi aku bisa
membayangkan kelanjutan ucapannya itu.
“Boram...!”
Luhan berlari dari
lapangan mendekatiku sambil menyeka keringat yang ada di dahi dan
lehernya.
Pertandingan sepak
bola selesai.
“Aku mau ganti baju
dulu, kamu tepat di sini. Tunggu aku. Nanti aku akan mengantarmu pulang. Araseo?*”
(*mengerti?)
“Hm!” aku mengangguk
tanda mengerti dan tersenyum padanya, Luhan membalas senyumku dan dia pergi
untuk mengganti baju.
Anggota klub sepak
bola yang melihat menggoda kami berdua. Ahyeon dan Seorin hanya tersenyum.
“Kalian bikin iri
saja!”
“Belum pacaran saja
sudah mesra seperti itu.”
Aku hanya tersenyum
menanggapi gurauan mereka. Lalu aku pergi menuju pohon besar tempat biasa aku
menunggu Luhan. Tempat yang sama, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Apa
ini yang di sebut cinta pada pandangan pertama?
“Boram!”
“Ne?”
Aku menoleh menatap
Luhan, wajahnya tampak cemas.
“Kenapa melamun?
Kamu gak enak badan?”
“Aniyo*
aku hanya sedang berpikir.”
(* tidak)
Aku tersenyum. Dia
memang suka mengomel, tapi sejak kejadian hiking tempo hari dia jadi sangat
perhatian. Dia mudah sekali merasa cemas padaku.
“Kamu harus pulang
sebelum hari gelap!”
Luhan yang hendak
melangkah, tiba-tiba berhenti dan pandangannya tertuju pada sesuatu yang ada di
belakangku.
“Itu apa?” Luhan
menyentuh batang pohon besar itu.
“Memangnya apa?”
“Ini seperti pahatan
nama.”
Aku tidak tau ada
pahatan nama di batang pohon ini.
“Pahatannya agak
kabur.” Luhan mendekatkan wajahnya pada pohon itu.
“Bo... Bo young...
Park Bo young! Xi... Xi Luman...?”
Xi Luman? Nama apa
itu? Aneh sekali, tidak seperti nama seseorang.
“Mana?” tanyaku.
Aku berjinjit
melihat pahatan itu. Karena letaknya lebih tinggi dariku. Pahatannya dipahat
dengan menggunakan pisau, sepertinya sudah lama sekali karena tulisannya
terlihat sudah mengabur.
Park Bo Young
Xi Luman
Aku terkejut melihat
ukiran kedua nama itu. Aku seperti sedang melayang ke dunia yang tidak
kuketahui. Tapi itu hanya sedetik. Saat tersadar, Luhan seperti sedang
terhipnotis oleh nama itu.
“Luhan?”
“Ne?”
“Luhan juga
merasakan apa yang aku rasakan?” tanyaku penasaran.
“Tentang apa?”
“Sepertinya aku
mengetahui nama orang yang ada di pahatan itu.”
Luhan menatap wajahku,
lalu kembali melihat pahatan kedua nama itu.
“Aku mengerti
sekarang!”
“Apa?”
“Pantas kamu
mengetahui kedua nama ini. Nama ini kan mirip nama kita berdua.”
“Apa hubungannya?”
“Ini lihat...” dia menunjuk
nama depan itu ‘Bo’ dan ‘Xi Lu’
“Mirip kan? Tapi kenapa
cowok ini bernama Xi Luman?” katanya sambil tertawa.
“Hahaha iya.”
Benar juga. Tidak
terpikirkan olehku, kenapa aku malah merasa aneh melihat nama itu?
“Boram! Ayo pulang!”
Luhan membawa tasku dan berjalan duluan.
“Luhan... Tunggu!”
Aku berlari mengikuti
Luhan. Masih ada perasaan aneh di hatiku.
Saat melewati sisi
gedung ruang kepala sekolah, kami bertemu kepala sekolah yang sedang memandang
keluar dari jendela ruangannya.
“Seonsaengnim...
Annyeong!*” ucapku.
(*ibu guru... sampai jumpa!)
Dia tampak kaget
dengan ucapanku. Tapi dia langsung tersenyum lembut seperti biasannya.
“Ah, Ye~ Annyeong!*
Hati-Hati di jalan.”
(*Oh, Ya~ Sampai jumpa!)
“Ne!” Aku membungkukkan
badan.
Ada kesan kesepian
dalam senyumnya. Ada gosib yang mengatakan, dia tidak menikah karena pria yang
di cintainya meninggal kecelakaan mobil, mobil yang dikendarainya masuk ke
dalam jurang saat akan menuju tempat mereka akan melangsungkan pernikahan.
Aku menoleh kegedung
yang bercet hijau itu, dan sosok ibu kepala sekolah masih terlihat di jendela.
“Boram! Ini sudah
sore. Ayo...” kata Luhan tidak sabaran.
“Ne...!”
******
Aku menyukai kota ini. Udaranya segar. Aku
punya banyak teman, dan tentunya punya Luhan. Aku mulai berpikir, aku akan
tetap tinggal di sini. Tapi, orang tuaku dan dokter Kris bilang kalau aku harus
kembali ke Seoul untuk menjalani operasi.
Aku ingin hidup bahagia seperti sekarang ini.
Untuk apa menjalankan operasi? Tanpa operasi dan hanya tinggal di sini saja,
penyakitku berangsur membaik.
Aku ingin tetap tinggal dan hidup di sini. Aku
suka udara di kota ini. Tidak seperti di Seoul, biarpun di Seoul ada sahabat
dan ke dua kakakku yang tampan. lagipula, Luhan ada di sini. Lulus dari SMA,
aku ingin berkerja di tempat dokter Kris. Biar lebih dekat dengan Luhan. Tapi
ada sebuah peristiwa yang menghancurkan semua impianku untuk terus berada di
sini.
Saat itu, pelajaran baru saja selesai. Aku
pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Setelah itu, aku dan
teman-teman mau menonton pertandingan klub sepak bola di lapangan sekolah. Tapi
Ahyeon dan Seorin sudah menunggu di lapangan.
“Tolong kembalikan buku ini ditempatnya
semula!” kata petugas perpustakaan.
Aku mencari rak buku yang sesuai dengan buku
yang kupinjam. Saat itu, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Dan
pintu perpustakaan di buka dengan kasar.
“Boram...! Apa kamu ada di sana?”
Aku terkejut. Itu ternyata suara Ahyeon
“Boram!!!”
Kali ini terdengar suara teriakan Seorin.
“Apa apa?”
Muka mereka terlihat pucat. Ada apa dengan
mereka?
“Tarik napas... Cerita, ada apa?” tanyaku
tegang.
“Boram, aku mohon kamu jangan kaget ya?”
“Ada apa? Cepat cerita...” jantungku mulai
berdetak kencang.
“Luhan...”
“Luhan cedera saat bertanding tadi!”
Buku yang belum sempat kuletakan di rak
terjantuh ke lantai.
“MWO?!*”
(*APA?!)
“Iya... saat bertanding tadi, ada pemain yang
tidak sengaja menendang kepala Luhan...”
“Kepala Luhan mengeluarkan banyak darah!”
“Iya, sekarang Luhan berada di ruang
kesehatan.”
Aku berlari menuju ruang kesehatan. Apa dia
bodoh?! Kenapa tidak bisa bedakan kepala dengan bola?! Air mataku mulai
mengalir, detak jantungku semakin tidak terkendali. Kulihat bercak-bercak darah
berceceran di sepanjang jalan menuju ruang kesehatan. Apa ini darah dari kepala
Luhan?
“Luhan!!!” teriakku sambil membuka ruang
kesehatan.
“Boram ssi, anda tidak boleh berlari seperti
itu.” Kata dokter sekolah.
“Apa Luhan...?”
“Apa?”
“Luhan mana?!”
Aku tidak bisa bicara apa-apa. Air mataku
mulai mengalir deras.
“Oh, maksudmu Xi Luhan?”
“Ada apa Boram?” terdengar suara dari dalam
ruangan kesehatan.
“Boram... Ada apa?” tanya suara itu lagi.
Aku mencari suara itu. Terlihat wajah Luhan
dari dalam ruangan, kepalanya di balut perban. Dia menatapku heran.
“Boram...?”
“Luhan!!!”
Perasaan lega muncul di dalam hatiku.
******
“Sudah kubilang... aku gak apa-apa...”
Luhan terus menjelaskan kejadian yang
menimpanya, tapi aku tidak bisa berhenti menangis.
“Kepalaku hanya tergores.”
“Tapi...” aku melihat bercak darah yang ada di
seragamnya.
“Kenapa? Kepalaku kan terluka, wajar saja
berdarah. Jangan berpikiran yang gak-gak.”
Cara Ahyeon dan Seorin memberitahu kejadiannya
membuatku begini.
Tiba-tiba Luhan tampak marah.
“Boram bodoh!”
Loh? Kenapa dia jadi marah padaku?
“Jangan pernah berlari-lari seperti itu! Kalau
penyakitmu kambuh lagi bagaimana!”
“Habisnya... Aku takut Luhan akan...”
“Akan apa? Mati?”
“Iya...”
“Bodoh! Aku belum mati...” katanya sambil tertawa.
Aku memeluknya.
“Ya! Jangan begitu... bajuku kotor, bisakah
melakukan ini saat bajuku bersih?”
“Hahaha gak apa-apa.”
Aku tidak peduli baju seragamku kotor. Detak
jantung Luhan terdengar olehku, aku lega Luhan masih hidup. Aku takut Luhan
mati. Aku tidak mau kehilangan Luhan.
“Saat mengira Luhan akan meninggal, aku jadi
sulit bernapas melebihi saat penyakitku kambuh.”
Luhan terdiam. Dia memegang kedua bahuku.
“Itu yang selalu kupikir.”
Kali ini aku yang tertegun. Aku menatap wajahnya
yang serius.
“Saat pertama kali bertemu denganmu, aku
selalu memikirkanmu. Waktu kamu hilang saat hiking, aku takut menemukanmu sudah
meninggal. Dan...”
Wajah Luhan memerah. Luhan lalu melanjutkan
kalimatnya.
“Saat memelukmu, aku berpikir, bagaimana kalau
detak jantungmu berhenti dan kamu meninggal.”
Aku diam. Tapi air mataku mengalir deras.
Luhan menatapku dengan lembut.
“Mulai sekarang, aku akan melindungimu.”
“Luhan...”
“Hm?”
Aku menghapus air mataku. Sebuah tekad muncul
di hatiku.
“Aku akan menjalankan operasi!”
“Ne?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku gak mau Luhan terus menjagaku dan
mencemaskanku. Aku juga gak mau menyusahkanmu.”
Luhan memelukku erat-erat. Aku membalas
pelukannya.
Jika Luhan di sampingku, aku tidak perlu takut
dengan operasi itu!
******
“Baiklan nona keras kepala! Kondisi badanmu
membaik, jika menjalankan operasi pasti berhasil.”
Selesai memeriksaku, dokter Kris menepuk-nepuk
pundakku sambil tersenyum. Tiga hari lagi aku kembali ke Seoul, untuk
menjalankan operasi. Aku datang ke klinik kakaknya Luhan, untuk pemeriksaan
terakhir.
Orang tuaku, bibi dan paman, bahkan dokter
Kris, kaget saat aku bilang ingin menjalankan operasi. Tapi mereka senang. Dan
dokter Kris langsung menghubungkan rumah sakit di Seoul untuk menentukan harinya.
“Boram, Luhan ada di
rumah. Mampirlah sebentar.” Kata ibu Luhan, yang juga sedang memeriksakan
kesehatannya. Ibu Luhan, ibu dokter Kris juga!
Ibunya terlihat
masih muda, makanya aku kaget sekali. Dia tidak tampak seperti ibu yang
memiliki dua anak laki-laki, apalagi salah satu anaknya adalah seorang dokter
yang berusia 23 tahun.
“Tidak usah, nanti
aku mengganggunya.”
“Tidak apa-apa.
Jangan malu-malu.”
Beliau mengajakku ke
rumahnya, dan menarikku ke lantai dua.
“Ayo, kita beri dia
kejutan.” Katanya sambil tersenyum.
Saat pertama kali
bertemu, kukira dia belum menikah. Badannya mungil. Dan ibu Luhan suka bercanda.
“Luhan, apa ibu
boleh masuk?”
“Aku lagi sibuk ma!”
“Kita ada tamu.”
Ibu Luhan membuka
pintu kamar. Luhan yang sedang duduk di meja belajar, langsung berpaling dengan
kesal.
“Ibu! Apaan sih?!”
Sontak dia kaget
saat melihatku.
“Bo...Boram?”
“Annyeonghaseyo!”
sapaku.
Ibu Luhan
mendorongku pelan masuk ke kamar Luhan. Kemudian dia menutup pintu dan pergi
meninggalkan kami berdua.
“Luhan... Aku...”
“Ke...Kenapa kamu
ada di sini?” tanya Luhan gugup.
“Maaf, tadi aku
pergi ke klinik kakakmu untuk periksa kesehatanku. Dan aku bertemu ibumu di
sana. Lalu dia mengajakku ke sini. Kalau kamu gak mau aku di sini, aku bisa
pulang sekarang.”
“Jangan!” Luhan
menarik tanganku.
“Di sinilah
sebentar.” Wajahnya memerah.
“Tidak apa-apa?”
“Iya, tidak
apa-apa.”
Ternyata bukan cuma
Luhan saja, aku juga gugup. Aku dan Luhan terdiam sesaat. Aku memperhatikan isi
kamar. Mataku terpusat pada meja belajar Luhan yang berserakan buku
pelajarannya.
“Luhan, sedang
belajar?”
Luhan buru-buru
membereskan buku-buku pelajarannya.
“Ternyata Luhan
suka belajar juga.”
“Kenapa? Apa ada
yang salah kalau aku belajar?”
Wajahnya semakin
merah saja.
“Coba kulihat, kamu
sedang baja apa!” godaku.
“Tidak usah! Untuk
apa?!”
“Mau lihat...!”
Aku bergerak untuk
mengambil buku yang terletak di atas meja. Tapi kakiku tersandung kaki kursi.
“Boram!”
Tanpa sengaja,
tangan Luhan yang ingin menangkap badanku yang akan jatuh, malah menangkap dan
menyentuh dadaku.
“Kyaaaaa!!!”
teriakku.
Wajah kami berdua
memerah.
“Makanya hati-hati
dong!”
“Tangan mu yang
harus hati-hati!”
“Memangnya
aku suka menyentuh dadamu yang kecil!”
Kami
saling berpandangan.
“Se...Sebaiknya
aku keluar dari kamar ini!” kataku gugup.
Baru saja
akan melangkah, dengan gerakan cepat Luhan membalikan tubuhku dan mendaratkan
ciuman di bibirku. Tiba-tiba terdengar teriakan dan benda jatuh dari lantai
satu.
******
“Keterlaluan!
Kenapa ibu bisa terjatuh?!”
Luhan mengomel
sambil memungut buku-buku yang berserakan di lantai. Kami berada di ruang kerja
dokter Kris.
“Maaf, ibu mau
membersihkan rak buku kakakmu. Jadi terjatuh dari kursi.” Katanya sambil
tertawa.
Saat terjatuh dari
kursi, ibu Luhan tidak sengaja menyentuh buku-buku. Akibatnya, buku-buku itu
ikut terjatuh dan berserakan di lantai.
“Ini...?”
Ibu Luhan membuka
sebuah buku tua dengan wajah heran.
“Ibu! Kita harus
membereskan buku-buku ini... Kalau kakak tau ruangannya berantakan, dia bisa
marah!”
“Luhan, ini kan
foto mendiang kakekmu...”
Luhan menghela
napas panjang dengan wajah kesal. Tapi ibunya tidak mendengar, malah duduk di
lantai dan terus melihat foto itu.
“Kalian, bisa lihat
foto ini.”
Kami tertarik juga
untuk melihat. Foto itu terlihat seperti foto-foto lama.
“Orang ini seperti
Luhan!” kataku saat melihat seorang dokter muda yang berdiri di depan klinik
tempat kakaknya bekerja sekarang.
“Tentu saja mirip.
Ini kan foto kakeknya Luhan saat masih muda.” Sahut ibu Luhan.
“Aku pulang...
Bu!”dokter Kris berteriak memanggil dari ruang depan.
“Ne?” sahut ibu
Luhan dengan segera. “Maaf, ibu tinggalkan kalian dulu sebentar.”
“Iya,”
Ibu Luhan
meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
“Sekarang harus
kita yang membereskan ini semua.” gumam Luhan.
Banyak buku-buku
yang yang terjatuh di lantai. Butuh waktu lama kalau hanya kita berdua yang
menyusunnya kembali.
“Jangan mengeluh!
Ibumu kan tidak sengaja.”
Saat Luhan
mengangkat sebuah album foto itu dengan sembarang, selembar foto terjatuh.
“Ah!” teriak Luhan.
“Luhan! Kau
membuatku kaget saja!”
Kami mengambil foto
itu bersamaan. Tapi foto itu membuat kami terkejut.
“Boram?”
“Luhan? Ini kan...”
Kami bengong dan
saling berpandangan. Foto itu sudah lama, warnanya sudah menguning. Foto
seorang pemuda yang mirip sekali dengan Luhan, bersama seorang wanita yang
mirip sekali denganku. Mereka berdua berfoto di bawah pohon tempat aku pertama
kali bertemu dengan Luhan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar