Author: Anita
Genre: Romance
Length: Chapter
Main Cast:
-
Jeon Boram (T-Ara)
-
Xi Luhan (EXO-M)
Attention! This is my first
fanfiction. Please comment. Happy reading... :)
******
Pertemuanku dan dia pertama kali terjadi
dibawah pohon ini. Begitu juga waktu pertama kali melihat gedung sekolah tua
ini, dibawah matahari sore. Entah kenapa, ada perasaan aneh menyelinap dalam
hatiku.
Saat itu aku baru saja pindah dari Seoul ke
kota yang terletak didataran tinggi yang tenang ini. Disini aku tinggal bersama
bibi dan pamanku. Aku juga pindah ke SMA setempat.
Walau terbilang cukup tua, gedung yang
berlantai dua ini sangat kokoh. Pohon-pohon besar dan bunga berjejer
disampingnya. Saat pertama kali melihat gedung ini, aku merasa seperti pernah
melihatnya disuatu tempat. Mungkin karena suasana disekitarnya mirip dengan
suasana dalam sebuah drama korea kolosal yang pernah kulihat.
Bisa jadi ini semacam deja vu. Kadang kita bisa merasakannya kan? Walau baru kali ini
datang, tapi sepertinya aku pernah kesini sebelumnya. Atau mungkin ini cuma
ilusiku saja.
“Oper! Oper!”
“Awas!”
“Allright!”
Sekelompok anak cowok sedang main bola di
lapangan sekolah. Sepertinya mereka anggota klub sepak bola di SMA ini. Aku
menikmati pemandangan di depanku dari balik sebuah pohon besar dan rindang.
Di Seoul, aku terbiasa melihat gedung-gedung
besar menjulang tinggi dan jalan yang dipenuhi mobil-mobil yang bising.
Sedangkan yang terdengar di sini adalah suara anak cowok yang sedang main bola.
“Aku ingin pulang,” gumamku.
Aku jadi ingin menangis. Jika tidak sakit, aku
tidak akan pindah ke sini. Padahal kemarin aku masih bersekolah di sebuah
sekolah ternama di Seoul.
Namaku Nam Boram. Badanku cukup kurus, kulitku
putih pucat, dan mataku bulat. Pada dasarnya aku siswi yang biasa saja. Tapi
ada satu kekuranganku, badanku lemah. Menurut dokter, aku mengidap lemah
jantung sejak lahir.
Saat kelas dua SMP aku mulai sakit-sakitan.
Sejak itu, hidupku berubah. Begitu menginjak bangku SMA, kesehatanku menurun.
Kepindahanku ke sini untuk memulihkan kesehatanku sebelum menjalankan operasi.
“Datanglah! Udaranya bersih dan segar. Di sini
banyak sayuran yang bagus untuk kesehatanmu sebelum menjalankan operasi,” kata
bibi beberapa waktu yang lalu.
Aku menolak, tapi aku tetap dititipkan di
rumah bibi dan paman karena mama dan papa mencemaskan kesehatanku.
“Dasar bodoh!”
“Kamu nendang ke mana?!”
Terdengar suara yang menyadarkan lamunanku.
Ada bola mengelinding ke kakiku. Seorang cowok
mengejar bola itu.
“Maaf,”
“Ne?*”
(*ya?)
“Tolong tendangkan bola itu,” pintanya.
Aku menendang bola ke cowok itu.
“Thanks ya!”
“Ne~”
Sebelum kembali ke kelompoknya, dia sempat
menatapku untuk beberapa saat. Entah kenapa, mata dan hatiku seperti tersedot
oleh tatapannya. Kami baru pertama kali bertemu, tapi mengapa suasananya jadi
aneh begini?
“Oy! Luhan!”
“Ya! Xi Luhan!”
“Lagi ngapain di situ?!”
Suara teriakan itu menyadarkanku.
“Iya.”
Kami seperti baru saja terbangun dari mimpi.
“Luhan!” terdengar suara teriakan lagi.
“Iya... Aku ke sana!”
Cowok itu berlari, tapi dia berhenti sesaat
dan berpaling ke arahku. Deg! Jantungku mulai berdebar. Dia berbalik lagi dan
berlari kembali ke teman-temannya.
“Kamu lelet sekali Luhan!”
“Luhan
cepat bawa bolanya!”
Anggota lain mulai tidak sabaran. Beberapa
dari mereka menyusul cowok itu.
“Luhan, siapa cewek itu?”
“Molla,*”
(*tidak tahu)
“Molla?”
“Mungkin anak sekolah lain,”
“Oh...”
Obrolan mereka terdengar samar-samar. Nama
cowok itu Xi Luhan. Siapa cowok itu? Aku seperti pernah bertemu dengannya.
Aku kembali ke rumah bibi dan pamanku.
Ke esokan harinya, aku kembali bertemu dengan
Luhan. Dan hari-hari ku di mulai dari situ...
******
“Karena Boram akan masuk kelas 3-C,
pertama-tama kamu harus melakukan beberapa prosedur untuk anak yang baru pindah
di kantor kepala sekolah.”
Wali kelas 3-C mengantarkan aku ke kantor
kepala sekolah. Sepanjang perjalanan
menuju kantor kepala sekolah, murid-murid yang berpapasan denganku
memperhatikan aku.
Tok! Tok!
Wali kelasku mengetuk pintu ruang kepala
sekolah.
“Deurooseyo!*”
(*Silahkan masuk!)
Kami berdua masuk.
“Oso oseyo, Nam Boram ssi.*”
(*Selamat datang, nona Nam Boram)
Guru wanita setengah baya itu mengangkat
wajahnya sambil tersenyum. Tapi detik berikutnya, senyumnya berubah dan
wajahnya menjadi kaku. Matanya memperhatikanku dengan terkejut.
Apa ada yang salah denganku? Aku heran melihat
kepala sekolah yang kaget seperti itu. Wali kelasku bertanya “Ibu kepala
sekolah, ada apa?” suara wali kelasku
menyadarkannya.
“Anda nona Nam Boram kan?” tanyanya lagi
sambil menatapku lekat-lekat.
“Ne! Saya pindahan dari SMA Sungji di Seoul.”
“Geraeyo?*”
(*begitukah?)
Dia tersenyum, tapi senyumnya tampak tidak
alami. Kepala sekolah ini tidak terkesan galak, dia tampak berwibawa. Tapi saat
melihat wajahku tadi, kenapa ekspresinya berubah?
Setelah mengurus prosedur kepindahanku ke
sekolah ini, aku hendak kembali ke kelas. Baru saja aku mau keluar ruangan,
kepala sekolah memanggilku.
“Jamsi gidariseyo!*”
(*tunggu sebentar!)
“Ne?”
“Apa kamu punya saudara yang dulu pernah
tinggal di sini?”
“Aniyo. Waeyo?*”
(*tidak. Kenapa?)
“Tidak apa-apa. Maaf, pertanyaan saya tadi jangan
dimasukan ke dalam hati.”
Dia tersenyum padaku. Aku mengerutkan kening
sambil menutup pintu ruangan kepala sekolah. Sikapnya tadi, tidak bisa ku
mengerti.
“Nah, ini kelas 3-C.”
Suara wali kelasku terdengar jauh. Aku membuka
pintu dengan ragu-ragu. Begitu pintu di buka...
“Ah!!!” teriakku.
Tiba-tiba mataku seperti tertutup oleh kabut.
“Hahaha...! Dasar bodoh!”
Terdengar suara tawa yang ramai. Aku meraba
kepalaku, ternyata ada sebuah kantong yang menimpa kepalaku.
“Ige mwoya?!* Kantong kapur?!”
teriakku kesal.
(*apa ini?!)
“Xi! Kamu ini bikin ulah lagi ya?!” bentak
wali kelas.
“Bu guru, ini kan ritual yang sudah ada dari
dulu,” jawab cowok itu kalem.
Di jaman yang modern seperti sekrang ini masih
ada saja sekolah yang menggunakan kapur! Ritual macam apa ini?! Membuatku kesal
dan bubuk kapur itu membuat air mataku keluar.
“Ayo minta maaf pada Boram. Dia kan baru
pindah ke sekolah ini.” Kata wali kelas lalu menjewer pelan kuping anak itu.
“Iya...Iya...”
Saat anak itu berbalik dan menatapku, dia malah
kaget.
“Kamu yang waktu itu kan?” katanya.
Aku jadi ikut-ikutan kaget.
“Kamu?”
“Hahaha... Ternyata murid pindahan ini anak
aneh yang kemarin,” kata cowok itu sambil tertawa.
Cowok jahil yang berada di depanku saat ini
namanya Xi Luhan. Ini pertemuan kami yang kedua.
******
Keterlaluan! Ternyata cowok jahil ini adalah
cowok yang kutemui di bawah pohon. Xi Luhan termasuk cowok jahil, tapi dia jago
olahraga. Dia sudah menjadi anggota tetap klub
sepak bola sekolah ini.
Dia selalu melakukan kejahilan di dalam kelas.
Kalau dia diam, wajahnya cakep juga.
Sejak dia menjahiliku di hari pertama di
sekolah ini, dia selalu menggodaku. Kalau dia lagi kumat jahilnya, tidak ada
yang bisa kuperbuat selain membentaknya.
Pertemuan pertamaku dengan Luhan seperti sudah
ditakdirkan, tapi ternyata semua itu benar-benar hanya mimpi. Dia cuma anak
jahil dan tingkah lakunya menyebalkan.
Begitu juga sosok kepala sekolah yang kutemui
tempo hari. Tiap berpapasan dengannya, aku selalu membungkukan badanku 90o
. Aku berusaha tidak memikirkan sikap anehnya saat pertama kali bertemu.
Sudah sebulan aku berada di kota ini. Aku ingin ke Seoul! Aku belum bisa
menyesuaikan diri dengan sekolah ini.
******
“Tampaknya kesehatanmu mulai membaik,” Kata
dokter Kris.
Dokter Kris selalu tersenyum ramah padaku.
Sejak pindah, tiap minggu sekali aku memeriksakan kesehatanku ke kliniknya yang
tidak jauh dari sekolah.
“Wajahmu tampak segar dan badanmu mulai
berisi.”
“Saya lagi gak hamil dok,”
“Hahaha... Maksud saya kamu gemukan.”
Mata cokelatnya memperhatikanku dengan
seksama.
“Hmmm... Bagaimana nona keras kepala? Kamu
sudah siap di operasi?”
“Dokter masih saja membicarakan itu!”
Aku tidak suka kalau diingatkan soal operasi
itu.
“Operasi itu bukan hal yang menakutkan,”
Dokter Kris berkata seperti sedang
menakut-nakutiku saja.
“Lebih cepat kamu menjalankan operasi, lebih
baik.” Kata mama beberapa waktu yang lalu. Tapi aku takut membayangkannya.
“Baiklah nona keras kepala, sekarang aku akan
memeriksamu. Tolong buka bajumu.”
“Ne.”
Aku membuka baju seragamku. Sebenarnya aku
paling sebal kalau di suruh buka baju di depan dokter cowok.
Dokter Kris menempelkan stetoskop yang terasa
dingin di dadaku. Dokter Kris memang selalu tersenyum saat memeriksaku, tapi
wajahnya juga tampak serius.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata
dokter Kris.
Aku lega dengan ucapannya, tapi...
“Tapi dadamu cukup kecil untuk usia 18 tahun.
Kamu perlu gizi yang banyak.” Katanya lagi.
“Dokter!” protesku.
Dia tertawa sambil menulis kartu periksaku.
Keterlaluan! Meskipun dokter Kris bercanda,
tapi itu kan tidak sopan. Ukuran dadaku memang tidak besar, tapi bentuknya
bagus loh!
Sambil mengomel, aku memakai bajuku.
“Kak! Kakak ada di dalam?”
Terdengar suara cowok berteriak-teriak di
depan pintu periksa. Lalu pintu terbuka...
“Oy, kak!”
Saking kagetnya aku lupa menutupi dadaku yang
masih terbuka.
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
teriakan histerisku sampai membuat getaran seisi ruang periksa. Buru-buru aku
menutupi dadaku, saat melihatnya “Kamu?” cowok itu ternyata Xi Luhan.
******
“Kakak seenaknya saja main perintah!” ujar
luhan kesal.
Dia memandang kerikil kecil yang ada di dekat
kakinya.
“Kamu harus bertanggung jawab mengantarkan
Boram pulang karena sudah mengejutkan jantungnya yang lemah!” kata dokter Kris
pada Luhan tadi.
Gara-gara diperintahkan seperti itu oleh
kakaknya, sepanjang perjalanan Luhan mengomel terus. Karena kejadian itu, Luhan
juga mendapatkan tamparan keras dari kakaknya. Bekas tamparan itu terlihat
merah dipipinya.
“Kamu gak apa-apa?” Luhan membalikan badannya
secara tiba-tiba.
“Gwaenchanayo,*”
(* tidak apa-apa)
“Ku katakan saja ya! Sebenarnya aku gak liat
apa-apa loh...! Mana sempat aku memperhatikan tubuhmu dalam waktu satu menit.
Apalagi keburu kakak menamparku!”
“Jeongmal?*”
(*benarkah?)
“Ne! Aku juga mana mau melihat dadamu yang
kecil seperti itu!”
“Berarti kamu sempat melihatnya?”
“Ah, ng...”
Wajahnya mulai memerah.
“Kenapa ketawa?!” tanya Luhan.
“Habisnya...” aku tidak melanjutkan kalimatku
karena keburu ketawa.
“Dasar anak aneh!”
Dia memalingkan muka, lalu mulai berjalan
kembali tanpa bicara.
Saat pertama ketemu, aku langsung tertarik
pada bola matanya yang manis itu. Dibandingkan sosok cowok, Luhan lebih mirip
anak-anak.
Tiba-tiba dia membalikan badan.
“Kenapa memperhatikanku seperti itu?”
Aku malu karena kepergok sedang
memperhatikannya.
“Dengan wajah yang seperti itu, mungkin Luhan
bisa jadi anggota boyband.” Kataku ngawur.
“Gak tertarik!”
Dia mengerutkan kening.
“Kan enak jadi terkenal.”
“Aku gak berminat!”
“Wae?* Padahal kamu bisa ke kota
besar, dari pada di desa seperti ini terus.”
(* kenapa?)
“Kamu bilang desa seperti ini?” Luhan
menggumam sambil menatapku. “Kalau sikapmu seperti ini terus, kamu gak akan
punya teman di sini.”
“Mwo?*”
(* apa?)
Dia kembali berjalan dengan wajah kesal.
Keheningan di antara kami terasa menjengkelkan. Tapi ucapannya tadi cukup
mengejutkanku.
“Aku malu jalan berdua dengan cewek. Kakak
seenaknya saja main perintah!”
Dia menggerutu terus.
“Kita sudah sampai.”
“Ne?”
“Rumah mu. Tempatnya di sini kan?”
“Oh, iya”
Luhan menyadarkan lamunanku. Aneh, biasanya
aku merasa perjalanan dari sekolah ke rumah bibi cukup jauh. Tapi kenapa kali
ini berasa sangat dekat?
“Gomawoyo.*” ucapku
(*terima kasih)
“Gak masalah, aku mengantarkan mu karena di
suruh kakak.”
Wajahnya mulai terlihat memerah. Ternyata dia
pemalu juga.
“Annyeong!*” katanya.
(*sampai jumpa!)
Luhan mulai berlari kecil. Tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
“Boram! Mianhae* untuk yang tadi,”
(*maaf)
“Minta maaf untuk apa?”
“Yang tadi itu... soal itu...”
“Oh, iya. Gak apa-apa.” Kataku sambil tertawa.
Muka luhan memerah lagi.
“Boram, waktu itu...”
“Ne?”
“Ng... gak apa-apa.”
Masih dengan wajah memerah, dia membalikkan badannya
sambil berkata cepat,
“Sebaiknya kamu harus sering tertawa seperti
itu di sekolah.”
“Luhan?”
“Annyeong!”
Aku menatap Luhan yang sedang berlari kencang.
Perasaanku jadi sama dengan saat pertama kali bertemu Luhan. Ada kesan yang
tidak asing lagi yang kurasakan tadi. Apakah ini semacam deja vu lagi?
******
Keesokan paginya aku mulai latihan mengucapkan
salam di depan kelas. Perasaanku lebih tegang dibandingkan saat pertama kali
datang ke sekolah ini. Kemarin aku memikirkan ucapan Luhan. Kurasa ucapannya
ada benar juga.
Ucapannya terngiang lagi.
“Sebaiknya
kamu harus sering tertawa seperti itu di sekolah.”
Aku membuka pintu kelas, dalam sekejap aku
menjadi pusat perhatian seisi kelas. Aku langsung mencari wajah Luhan. Ada!
Entah kenapa, saat melihat wajahnya aku menjadi lega.
“Annyeonghaseyo?*” ucapku sambil
tersenyum pada Luhan.
(*apa kabar?)
“Annyeonghaseyo,” sahut Luhan gugup.
Anak-anak cowok yang sedang berkumpul
dengannya jadi rubut.
“Ya! Xi Luhan. Ternyata kamu dekat sama anak
baru itu. Hahaha” Goda temannya.
“Pabo!* Gak seperti itu kok!”
(* bodoh!)
Wajah Luhan memerah. Mereka salah paham!
Tiba-tiba aku melihat pandangan anak-anak cewek sekelas jadi dingin.
“Annyeonghaseyo?” ucapku pada mereka.
Mereka tidak membalas salamku. Malah ada
beberapa anak yang menghindariku, tapi ada beberapa anak yang memandangiku
dengan anehnya.
Sikap cuek anak-anak cewek itu mendadak
berubah menjadi sikap permusuhan. Itu kusadari saat pelajaran olahraga keesokan
harinya.
******
“Nice!”
Terdengar gema suara teriakan anak-anak cewek
di aula.
Pelajaran ke lima adalah olahraga. Anak-anak
cowok bermain bola di lapangan sekolah, sedangkan anak-anak cewek bermain
basket di aula.
Aku hanya bisa memandangi mereka yang sedang
bermain, karena aku mengidap lemah jantung jadi aku tidak ikut bermain.
“Boram! Gak ikut main?”
Seseorang menegurku dari belakang. Waktu aku
menoleh, ternyata mereka adalah Jung Ahyeon dan Shin Seorin. Saat pertama kali
aku pindah, mereka sering sekali mengajakku ngobrol, tapi akhir-akhir ini
mereka jarang bicara denganku.
“Kamu selalu menonton, kenapa gak pernah
main?”
“Ah, ng...”
Aku bingung mau menjawab apa. Teman sekelasku
tidak ada yang tau tentang penyakitku selain Luhan. Aku juga meminta pada wali
kelasku untuk tidak memberitaukan pada teman-teman sekelas.
“Aku lagi gak enak badan,” Kilahku.
“Kamu selalu bilang gak enak badan saat
pelajaran olahraga!”
“Boram kan lemah!” ejek Seorin
“Nona yang datang dari Seoul ini pasti gak
suka berkeringat!”
Cara bicara Ahyeon menunjukan sikap
permusuhan, memancing kemarahanku. Karena ucapan Ahyeon dan Seorin barusan,
beberapa orang teman sekelas lainnya yang sedang istirahat memperhatikan kami.
“Ada apa?”
“Ada apa dengan mereka?”
Mereka bisik-bisik dengan penuh rasa ingin
tau.
“Dia gak mau main dengan anak kampung seperti
kita!”
“Ani*, itu tidak benar...”
(*tidak)
Aku baru saja mau menyangkal, tapi Ahyeon dan
Seorin tertawa menyeringai. Aku tau, mereka memang bermaksud mengejekku. Ahyeon
dan Seorin saling pandang.
“Gerae!* Bagaimana kalau kita
bertanding basket?”
(*baiklah!)
“Ja!*”
(*ayo!)
Aku tidak bisa terus terang kalau aku mengidap
lemah jantung, dan aku tidak mau
melarikan diri dari tantangan Ahyeon dan kawan-kawan.
Aku mendrible bola. Ku tembus pertahanan
Ahyeon dan melakukan tembakan.
Teman-teman lain yang menyaksikan jadi ribut.
Aku menatap Ahyeon dan teman-temannya. Ahyeon dan Seorin hanya bisa menggigit
bibir. Mungkin mereka mengira aku tidak bisa bermain basket.
Selesai memainkan satu game, tiba-tiba bibirku
menegang dan aku sukar bernapas. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh.
“Ah!”
Karena badanku melemah, Ahyeon dengan mudah
merebut bola yang ada di tanganku.
“Boram, Gwaenchana?” tanya teman satu timku.
“Gwaenchanayo,”
Keringat dingin terus mengalir deras. Aku
sudah tidak sanggup berdiri lagi. Suara-suara mulai terdengar menjauh, yang
terdengar hanya detak jantungku.
“Boram! Nam Boram!”
Suara teriakan itu menyadarkanku. Aku tau itu
suara siapa. Dan aku merasa ada seseorang yang mencoba untuk menggendongku. Aku
melihat wajah Luhan yang hanya terpisah sekitar 20 senti dari wajahku.
“Luhan?”
“Dasar bodoh!” bentaknya.
Tiba-tiba aku sadar kalau seisi aula
memperhatikan kami.
“Luhan, turunkan aku. Aku sudah tidak
apa-apa.”
Karena malu, aku meminta Luhan untuk
menurunkanku. Tapi Luhan tetap menggendongku dan membawaku keluar aula.
“Kita mau kemana?” tanyaku.
“Ke hotel!”
“Mwo?”
“Tentu saja ke ruang kesehatan, dasar bodoh!”
“Luhan, aku bilang aku sudah tidak apa-apa.
Cepat turunkan aku.”
“Tidak apa-apa apanya?! Kau tadi hampir
pingsan! Jadi diam, dan nurutlah sedikit!”
Karena Luhan tampak marah, aku tidak berani
mendebatnya lagi. Aku melirik wajahnya
yang tampak sangat marah. Sambil menatap wajahnya yang menakutkan, aku berusaha
menahan debaran jantungku yang kencang.
******
Dalam perjalanan pulang, aku mampir ke klinik dokter Kris. Sama seperti
kemarin, Luhan di suruh kakaknya mengantarku pulang. dan sama seperti kemarin
juga, Luhan sibuk mengomel sepanjang perjalanan pulang.
“Kenapa kamu gak bilang sama mereka kalau kamu lagi sakit? Kalau mereka
tau kamu sakit, mereka gak akan menantangmu bermain basket!” kata Luhan marah.
“Aku gak mau dikasihani,”
“Keterlaluan.” Luhan menghela napas sambil menatap wajahku lekat-lekat.
“Kamu keras kepala juga ya.”
“Hehehehe...”
“Jangan ketawa! Dasar boroh!”
Luhan terus mengataiku bodoh. Tapi aku tau dia tidak marah lagi, dia
hanya mencemaskan aku. Sebetulnya aku suka saat dia menggendongku ke ruang
kesehatan.
“Waktu melihat mukamu yang pucat seperti orang mati, aku jadi cemas. “
kata Luhan tadi sesaat setelah dia membawaku ke ruang kesehatan.
Walau dokter sudah mengatakan “tidak ada yang perlu dikhawatirkan” tapi
Luhan memaksaku ke klinik kakaknya.
Aku senang cara Luhan memarahiku sambil mengataiku bodoh.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Luhan sambil memperhatikan
wajahku.
“Kenapa kamu tampak senang? Padahal jantungmu baru saja kumat!”
gumamnya.
“Luhan...”
“Hm?”
“Kamu mencemaskanku ya?” tanya ku setengah bercanda.
“A...Apa? Dasar bodoh!”
Jawaban macam apa itu? Kenapa dia marah gak karuan seperti itu?
“Mau bagaimana lagi,aku memperhatikan kamu karena kamu pasien kakakku.
Kalau terjadi sesuatu padamu di sekolah, pasti aku dimarahi kakak.”
“Araseo,*”
(*aku mengerti)
Cukup masuk akal, tapi aku ingin terus menggodanya.
“Tapi sebagai adik dari seorang dokter, kamu sangat perhatian.”
Luhan memandangku dengan sebal.
“Maaf ya, kamu ini PASIEN yang merepotkan!”
Dia memberi tekanan pada kata ‘pasien’.
Tapi kemudian wajahnya jadi sedikit melembut.
“Kalau sudah mengerti, jangan merepotkan lagi ya?” serunya sambil
menepuk-nepuk kepalaku.
Saat Luhan menepuk-nepuk kepalaku, jantungku berdebar kencang.
“Boram?”
“Ne?”
“Kamu akan menjalani operasi itu?”
Ucapan Luhan membuat detak jantungku makin kencang.
“Itu tidak ada hubunganya dengan Luhan kan?!” kataku dengan tajam.
“Ya memang gak ada hubungannya. Karena aku cuma adik dari seorang
dokter. Tapi kata kakakku, kamu itu nona keras kepala yang takut di operasi.”
“Aku gak takut!” bentakku kesal.
“Kalau begitu, kenapa kamu gak mau di operasi? Setelah operasi kamu kan
jadi sehat!”
Tidak ada jawaban yang bisa kuberikan. Aku tidak takut di operasi,
tapi...
“Kamu keras kepala tapi pengecut juga. Dengan operasi semua jadi
bereskan?”
“Luhan bodoh! Aku gak takut! Aku gak pengecut!” bentakku.
Luhan kaget dengan bentakanku. Dia memandangi mukaku yang marah.
“Memangnya kamu tau apa?” tanyaku.
Tanganku mengepal dan mulai menangis.
“Operasi itu akan meninggalkan bekas luka di dada. Bagi seorang cewek,
itu sama saja dengan mati!” Setelah mengucapkannya, aku berlari menuju rumah
bibiku.
“Boram! Tunggu!” teriak Luhan “Jangan lari, dasar bodoh!”
“Berisik! Pergi sana!” bentakku.
Aku berhenti berlari karena jantungku sakit. Beberapa saat, aku menoleh
dan melihat Luhan sudah berjalan pulang.
“Luhan bodoh!” desisku pelan.
Aku batuk-batuk. Sudah lama aku tidak berteriak seperti tadi.
Tenggorokanku jadi sakit.
Aku berjalan di bawah sinar matahari sore sambil berpikir. Apa yang
dikatakan Luhan itu benar. Aku keras kepala dan pengecut. Dia benar...
******
“Selamat pagi, Boram.”
Bibi muncul dari dapur.
“Ini untukmu.” Kata bibi sambil tersenyum dan memberikan amplop
berwarna pink.
“Surat?”
Saat melihat nama pengirimnya, aku terlonjak kegirangan. Ini surat dari
Baekhyun Oppa dan Suho Oppa*. Aku berlari menaiki tangga menuju
kamarku. Aku berlari menaiki tangga menuju kamarku.
(* Kakak laki-laki)
“Boram, jangan tergesa-gesa seperti itu,”
Wajah murungku berubah menjadi siang. Aku membuka amplopnya dengan
hati-hati agar suratnya tidak robek.
Apa kabar Boram?
Pasti Boram sehat-sehat saja.
Seperti biasa, kami juga selalu sehat.
Banyak yang ingin kami tulis
dalam surat, karena kami kangen masa-masa saat kita bersama. Jadi kami berharap
Boram cepat sembuh dan kembali ke Seoul. Kakak mana yang tidak kangen pada adik
satu-satunya yang paling keras kepala. Hehehe...
Kami mau menulis lebih banyak
lagi lain waktu. Tapi Boram pasti sangat sibuk kan? Kami di sini juga sangat
sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk. Tapi kami janji, kalau ada waktu
luang, kami akan kirim surat lagi. Tetap semangat dan cepat sembuh ya!
O, iya! Kami lupa memberi tau
berita yang mengejutkan. Pokoknya Boram pasti kaget. Tau gak? Kai, teman kakak
yang kamu sukai, akan segera menikah dengan...
Tanpa membaca sampai akhir, aku langsung melipat surat itu dan
menyimpannya dalam laci. Ternyata aku salah. Setelah membaca surat, perasaanku
justru semakin berat.
******
Akhir-akhir ini aku sering berpikir, apa yang dilakukan oleh orang yang
meninggal di alam sana? Jika aku meninggal, keberadaanku hanya menghilang dari
muka bumi.
Andai itu terjadi, apakah keadaan disekelilingku akan berubah? Setelah
mati, mungkin aku akan jadi orang yang terlupakan.
Sekarang telah memasuki musim gugur. Murid kelas 3-C berkumpul di
halaman sekolah dengan wajah riang. Rencananya kami semua akan mengadakan
hiking di bukit yang terletak tidak jauh dari sekolah. Ini kegiatan rutin
sekolah tiap tahun.
“Kamu gak apa-apa? Kalau gak enak badan, kamu bisa tinggal di dalam
kelas,” kata wali kelasku sambil menatapku dengan cemas.
“Tidak apa-apa bu, saya sudah biasa jalan kaki,”
“Jeongmal? Tapi jangan dipaksakan ya. Kalau gak enak badan, bilang.”
Kata pak guru Tao, guru olahragaku.
Walau sudah berpesan seperti itu, dia masih tampak cemas. Baru kali ini
aku ikut kegiatan hiking. Aku tidak mau menunggu saja di dalam kelas. Selain
itu, aku tidak mau sendiri di dalam kelas yang agak gelap itu. Menyeramkan!
Wali kelas dan guru olahragaku jadi sering cemas sejak kejadian tempo
hari di aula. Sejak saat itu juga, teman sekelasku jadi tau tentang penyakit
yang kuidap. Setelah dimarahi wali kelas, Ahyeon dan Seorin minta maaf padaku.
Dan setelah tau aku sakit, teman-teman cewek sekelas tidak memperlakukan aku
dengan dingin lagi. Mereka semua malah jadi perhatian.
Sejak kejadian itu juga, aku jadi tidak bisa menatap langsung wajahnya
Luhan. Saat tau aku mau ikut hiking, dia memarahiku.
“Apa yang sedang kau pikirkan?! Sebaiknya gak usah ikut!”
Tadinya aku mau bilang kalau ini bukan urusanmu, tapi tidak jadi karena
mungkin dia akan tambah marah seperti waktu itu.
Aku sedang berjalan perlahan, obrolan anak-anak cowok yang sedang
berjalan beberapa meter di depanku, terdengar olehku.
“Luhan, kenapa dari tadi diam saja?”
“Kamu masih
mencemaskan Boram ya?”
“Aku gak mikirin dia!” kata Luhan sambil menoleh sekilas ke arahku.
Wajahnya tampak cemas. Dia mencemaskan ku karena aku pasien kakaknya.
Luhan akan melupakanku segera, begitu aku kembali ke Seoul. Dan jika aku sudah
tidak ada, Luhan pasti tidak akan memikirkan aku lagi.
Kuperhatikan satu-satu wajah teman-temanku yang sedang berjalan sambil
mengobrol dan bercanda. Mereka ketawa-ketawa. Entah kenapa, mereka terasa jauh
dariku. Terasa ada batasan di antara aku dan mereka. Aku seperti berada di
antara hidup dan mati. Aku tertinggal jauh dari mereka. Tanpa sadar, aku sudah
tersesat.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar